Pernah gak sih kalian bayangkan kalau
tiba-tiba kalian menemukan teman, keluarga, pacar, anak atau orang terdekat
kalian terbaring di lantai dengan wajah dan tubuh berlumur darah ala film-film
tragis? Dan ternyata darah itu berasal dari luka-luka yang dia buat sendiri.
source : dailyrecord.co.uk |
Bener gak sih?
Semula aku juga penasaran, karena di fanfic
(RPF) favoritku juga kerapkali menyinggung tema self harm. Dan para author jago
banget mendeskripsikan self harm itu sebagai sesuatu yang benar-benar “enak”.
Biasanya para pelaku self harm ini adalah
orang-orang dengan latar kehidupan yang nggak terlalu bagus, tempramen,penuh
gejolak, frustasi atau depressi. Self harm adalah bentuk pelampiasan, atau
pelarian. Bentuk cara nekat saat pelakunya berusaha mengatasi emosi atau perasaa-perasaan
yang tidak bisa mereka tanggung. Beberapa sumber juga mengatakan pelaku self
harm punya gangguan-gangguan mental lain seperti bipolar disorder, kompulsif,
juga termasuk dalam pemakai narkoba dan alkoholik.
Rasa sakit dan perih yang timbul karena
luka-luka itu bisa mengalihkan perasaan-perasaan tidak karuan yang mereka
rasakan. Akan tetapi mereka melakukannya bukan karena ingin bunuh diri. Oke,
dari semua uraian di atas, kesimpulannya, self harm adalah sesuatu yang
“salah”.
Atau paling nggak –ngeri. Dan nggak benar.
Juga nggak seharusnya. Baik dilihat dari segi kesehatan (ancaman infeksi), dari
segi agama (kita tidak boleh menyakiti diri sendiri) atau dari segi estetika
(bekas-bekasnya ngeri, man!).
Tapi tahu kah kalian semua, bahwa aku menulis
post ini dengan keadaan lengan kiri penuh dengan goresan silet yang sudah merah
dan bengkak? Dan wajah penuh bercak darah kering karena aku pakai buat ngelap
lengan kiri?
Mungkin terdengar seperti creepy pasta, but
this is true.
Bukan berniat pamer (pelaku self harm biasanya
menutup nutupi perbuatannya), aku hanya ingin berbagi. Bukan berbagi dengan
sesama self harmer di luar sana –tapi buat kalian yang belum pernah kenal apa
itu self harm. Dan doaku buat kalian adalah : jangan kenal apa itu self harm.
Kalau dibilang, rasa sakit itu emang enak
(please, aku sudah terbiasa jadi sandsack nya anak-anak kalau lagi nongkrong di
pangkalan Jones). Satu keadaan yang bisa membuat kita melupakan rasa sakit yang
lain. Pain vs pain make us feel better. Real. Aku emosian, tempramen, penuh
masalah, emang! Tapi aku ingin berhenti dari semua kebiasaan ini.
Menjauhkan tangan-tangan ini dari
keping-kepingan silet dan gunting.
Kalau boleh berbagi cerita sedikit, guys, awal
november lalu aku ada rencana ke Jakarta sama temen-temen sekolah, mengunjungi
pameran pendidikan di balai Kartini, Jakarta. Malemnya, karena gugup, kakiku
jadi korban sayatan. Aku melakukannya hampir dalam keadaan sadar –tapi juga
nggak sadar (guru kimiaku pernah bilang aku split personality). Intinya aku “melakukannya”
tapi saat aku bikin goresan-goresan, itu seperti “bukan aku”.
Oke, ini bukan film fantasi atau novel novel
karanganku, aku serius. Malamnya, kakinya nyeri bukan main. nyeri otot, hampir
masuk tulang. Aku hampir-hampir mbatalin rencana ke Jakarta waktu itu, karena
aku takut kakiku kenapa-kenapa.
Tahu Clostridium tetanii kan? Bakteri penyebab
tetanus yang biasanya masuk lewat logam berkarat? Nah kebetulan... silet yang
kupakai emang udah agak lama. Pengalamanku berkutat dengan silet di laboratorium
biologi sih, silet emang gampang berkarat. Kebayang
gimana takutnya aku saat itu?
Alhamdulillah aku nggak kenapa-kenapa. Dan aku
nggak pengen kenapa-kenapa.
Guys, self harm bukan tren. Aku tahu aku
salah, dan buat kalian yang pernah tahu apa itu self harm, jangan pernah coba.
Jangan remehkan self harm, karena terkadang ita nggak tahu kapan “apes” nya
kita, dan kapan ada ancaman-ancaman datang ketika kita melakukannya. Aku
sendiri dalam proses berhenti sekarang.
Bukan pamer –but believe me. Cut urself is useless.
Berbagilah dengan orang lain, seperti aku (yang selama ini selalu
menutup-nutupi perbuatanku) berani menulis ini untuk kalian.
Lihat aku setiap hari pakai jas almamater
sekolah yang hitam, supaya nggak ada darah merembes keluar di seragam putihku.
Tapi sekarang ini aku bisa bilang “ini waktunya aku mencoba pakai seragam putih
lagi”.
Dan menyudahi semuanya.
Bogor, 2014-11-29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar