marquee

WELCOME TO MY BLOG, FRIENDS!

Laman

Kamis, 29 November 2018

Bagian 4 : Ada Malaikat Berbahasa Indonesia di China


Tiyu Xilu hanyalah sebuah nama. Kamu tak membayangkan apa yang akan menanti di sana, yang kami tahu, kami hanya harus menuju ke sana. Kami masuk ke dalam kereta bawah tanah bersama ratusan penduduk pribumi lainnya. Kereta bawah tanah China sama parah dengan KRL rute Bogor-Manggarai! Kereta ini lebih mirip stoples nastar lebaran yang diisi manusia-manusia bernyawa.
Berjejal di kereta bukan sesuatu yang kami harapkan di sini, tetapi mau tak mau harus kami jalani. Setelah beberapa stasiun terlewati, akhirnya kami tiba di stasiun tujuan : Tiyu Xilu. Lalu muncullah masalah baru buat kami yang baru pertamakali pergi ke sini, kami tak tahu bahwa tiap stasiun punya pintu keluar yang berbeda-beda. Dan tiba-tiba, tiket kami tidak terbaca mesin scan!
“Mampus! Mampus bego, ini kenapa?” Aku memaki-maki.
Kebodohan kami pertamakali adalah, kami sudah membeli kartu kereta tapi tidak tahu bagaimana cara memakainya, jadi kami terpaksa membeli tiket koinan, dan ternyata tiket koinan kami bermasalah sehingga kami tidak bisa keluar dari stasiun!
Kami berlima panik seketika dan mulai mencari pertolongan. Sialnya, petugas stasiun tidak ada yang bisa berbahasa inggris! Aku memaki lagi. Kami berputar-putar lama sekali, mencari petugas yang minimal bisa mengerti frasa ini : PAK GIMANA CARANYA KELUAR DARI SINI?
Nihil.
China yang merupakan negara besar dunia benar-benar gagal mencetak rakyat sipil yang terampil berbahasa!
Di tengah putus asa, aku mendekati seorang petugas tambun di dekat pintu keluar dan memaksa dia bicara bahasa inggris. Dia menggeleng, dan berkata terbata dalam aksen China, “No-inggeris! No-inggeris!”
Tepat pada saat itu, seorang pemuda lokal melintas dan menepuk bahuku pelan.
“Can I help you?” katanya. Dialah orang asing yang jadi malaikat pertama kami. Definisi malaikat penyelamat di sini menjadi teramat sederhana: orang lokal yang mampu berbahasa inggris. Aku menceritakan duduk perkara secara singkat, dan pemuda tak dikenal itu mengarahkan kami ke pusat informasi stasiun.
Pusat informasi stasiun berupa ruang kaca yang diisi seorang petugas kurus. Dia berbicara dengan orang-orang di luar dengan menggunakan mikrofon dan pengeras suara ke luar, sebuah sistem yang membuat petugas dan pengunjung bisa bercakap tanpa diganggu suara hiruk pikuk stasiun. Sialnya, si petugas pusat informasi juga tidak bisa berbahasa Inggris. Dia terpaksa turun dari ruang kaca itu dan mencari petugas lain yang bisa membantu kami berkomunikasi.
Agak lama kemudian, dia datang membawa petugas perempuan yang ternyata bisa berbahasa Inggris. Dia membantu kami mengurus tiket koinan kami, dan kami diminta membayar sejumlah uang yang tak banyak. Sungguh mulia sistem transportasi China dibandingkan dengan di Tembalang! Ongkosnya sangat murah dan terjangkau. Setelah nyaris satu jam terjebak di dalam stasiun pun akhirnya kami bisa keluar dari stasiun Tiyu Xilu.
Keluar dari stasiun, kami bertemu dengan jalan besar. Trotoarnya lebar dan rapi, seperti trotoar Jalan Pemuda Semarang. Di sini lah kami benar-benar berjumpa dengan wajah kota yang sesungguhnya.
China sangat teratur.
Gedungnya serba pencakar langit, dan aspalnya dibangun dengan sangat halus. Trotoarnya ramah bagi pejalan. Rakyatnya banyak mengendarai sepeda listrik. Sepeda motor hanya dipakai oleh polisi, dan ada banyak sekali pegawai berseragam pergi dengan berjalan kaki.
“Terus kita kemana?” tanyaku. Semua kawanku menggeleng. Akhirnya, berbekal insting, kami menyusuri trotoar dan berjalan jauuuuuhhhh sekali. Sol sepatuku tergerus dan telapak kakiku sudah mulai nyeri.
Sepatu yang baru dibelikan Ibuku di Jakarta rusak. Bagian dasarnya tidak kuat diajak berjalan jauh, sehingga bagian dalam solnya yang bergerigi menonjol keluar. Telapak kakiku terluka sampai aku tidak tahan berjalan lagi. Akhirnya, sambil duduk di dekat tempat parkir, aku melepas sepatu lalu terpaksa melemparnya ke kotak sampah terdekat.
Inay dan Anis mencoba mencari taksi. Kami tak tahu bagaimana caranya mencegat taksi di sini. Apakah kamu bisa mencegatnya langsung? Atau harus pergi ke pool taksi? Atau harus memesannya secara online terlebih dahulu? Kami tak tahu. Orang-orang yang kami temui pun tak ada yang bisa berbahasa inggris.
Kelaparan, kehausan, kepanasan dan luka-luka membuat kami benar-benar mirip gelandangan. Tapi di tengah sengsara ini, kami masih sempat melempar canda dan tertawa bersama. “Kapan lagi kita bisa jadi gembel di Guangzhou?!”
“Jadi gelandangan tapi gelandangan elit, soalnya di China!”
Tiba-tiba, di dekat sebuah Gedung yang sepertinya sedang mengadakan sebuah acara besar, kami bertemu dengan seorang pria. Dia malaikat yang kedua. Bahasa inggrisnya terbata, tetapi dia bisa memahami situasi kami. Kami menanyakan alamat apartemen kami, yakni Lexuan Youth Apartemen di Haizu District. Dia tidak bisa menjawab dimana letak pastinya, tapi dia menuliskan alamat ini dengan tulisan kanji dan merekomendasikan kami memperlihatkan tulisan ini ke sopir taksi setempat.
Tulisan kanji cakar ayam ini menjadi modal utama kami berlima untuk lepas dari gelar gelandangan. Aku segera bersemangat dan cepat-cepat mengganti sepatu. Saat kakiku membaik, aku segera menyeret koper menyusuri trotoar lagi ke arah darimana kami datang tadi. Konyol memang, kenapa kami berjalan jauuuuuhhh sekali tapi kemudian berbalik lagi. Tapi firasatku membaik saat aku menyeret koper ke arah itu.
Langkahku terlalu cepat sampai teman-teman yang lain tertinggal.
Hanya Andi yang bisa berlari menyusulku dan mengingatkanku untuk bisa menunggu. “Mbak, mbok pelan-pelan to!” katanya, “Mbak nek ilang piye?”
Di daratan China, rasanya rindu sekali tanah Jawa.
Tanah tempat bisa bercakap tanpa hambat. Di sini, jangankan bercakap, sekedar menyapa saja sulitnya luar bisa. Aku duduk di pinggir trotoar bersama Andi, sekedar meluruskan kaki sambil menunggu kawan-kawan yang lain sampai di sini.
Sambil menonton Andi mengambil foto-foto Gedung, mataku berkeliling, dan aku melihat malaikat nomor tiga. Malaikat bisu berwujud logo M raksasa warna kuning. “Temen-temen!” aku berteriak pada Andi, Ragil, Inay dan Anis, “ADA MCDONALD!”
Rasa lapar membuat kami menyerbu McDonald, dan memesan bubur telur. Beruntung, petugas McD bisa berbahasa Inggris dan mengerti keadaan kami yang tidak boleh makan sembarang daging. Halal-haramnya makanan memang jadi isu nomor satu turis muslim di seluruh dunia. Bubur McD adalah opsi paling aman karena dagingnya hanya sedikit dan gampang disingkirkan.
            Bubur McD Guangzhou bertekstur sangat encer, nyaris cair! Aku yang di Indonesia bukan penggemar bubur pun mendadak kangen bubur kinco manis pinggir jalan gara-gara melihat bubur di China yang menyedihkan. Bau telur bebeknya menyengat sampai ubun-ubun, siap membuat orang non-China muntah seketika! Beruntung, tidak satu pun dari kami yang muntah.
Di samping bubur, ada semacam potongan gorengan. Saat kucicip, rasanya seperti ketela yang dihaluskan lalu digoreng dengan panir. Aku tidak yakin ini ketela, karena teksturnya lunak tapi menyerpih. Mungkin ini sejenis umbi-umbian lokal. Untuk minuman, kami mengambil air putih dingin, dua botol dibagi berlima.
Kami duduk di McD sekitar setengah jam, lalu memutuskan keluar dan mulai mencari taksi. Saat kami meminggirkan diri di bawah pohon di trotoar, tiba-tiba datang malaikat yang keempat. Tuhan mengirim orang asing itu sebagai penolong yang mengakhiri sesi penggelandangan kami.
Dia pria muda yang tegap dan berkaos hitam ketat. Dia juga memakan kacamata hitam. “Hei! Hei!” katanya sambil mendekati kami, lalu dia menunjuk kami dan bicara dalam bahasanya. Kami tak paham.
Dia terus menunjuk kami sambil menyebutkan nama-nama negara muslim. Oh, rupanya dia menanyakan darimana kami berasal.
“Indonesia,” jawab kami.
“Ah! Indonesia! Emm… Selamat pagi?” katanya. Kami terkejut mendengar dia berbahasa Indonesia. Aksen Chinanya masih terasa, dan aku merasaucapannya sedikit dipaksa.
Selamat pagi? Terimakasih? Terimakasih?” ucapnya acak. Kami hanya tertawa canggung, lalu mencoba menanyainya perihal taksi. Tepat pada saat itu, dia menunjuk mobil biru yang melintas yang ternyata adalah taksi lokal!
Kami mencegat taksi itu tepat waktu sebelum kemudian berterimakasih berkali-kali pada orang China aneh itu. Di balik ucapan acaknya yang tak jelas, dia membantu kami menemukan apa yang kami cari, taksi. Alamat apartemen yang sudah ditulis dalam kanji itu segera diberikan kepada pak sopir.
Awalnya sopir itu tak mau mengantar kami karena kami berlima karena kapasitas maksimal taksi 4 orang. Kami terus memohon -we can`t be separated! Dia tidak paham bahasa inggris dan kami terus memaksa. Akhirnya pak sopir setengah baya itu sepakat mengangkut kami berlima setelah menunjukkan angka 1000 di kalkulator. 1000 yuan untuk naik taksi berlima! Karena tidak ada pilihan, akhirnya kami mengangguk.
Jarak Tiyu Xilu sampai apartemen lumayan jauh. Kami sempat melihat Canton Tower dari kejauhan, dan lanskap kota berpencakar langit yang elok. Kecantikan China tak dipudarkan oleh cat interior kotanya yang serba abu-abu. Kami melintasi jalan raya lebar dan mulus menuju sudut Guangzhou yang tak kami tahu : distrik Haizu.
Sopir taksi yang mendadak baik hati setelah dijanjikan 1000 yuan itu memutari distrik demi mencarikan kami alamat Lexuan Yout Apartemen, hingga akhirnya tibalah kami di sebuah kompleks apartemen yang menurut kami cukup elit. Si sopir membantu kami berkomunikasi dengan petugas sekuriti setempat, dan para sekuriti berseragam hitam itu membersilakan kami duduk di bangku terdekat.
Kompleks apartemen ini mengingatkanku pada perumahan mewah ibukota, tapi versi vertikal. Ada tak kurang dari sepuluh Apartemen pencakar langit dibangun melingkari sebuah Kawasan taman yang ditata luar biasa indah. Pohon-pohon mengawal jalan setapak berpaving yang meliuk-liuk, mengelilingi sebuah kolam renang jernih. Di sudut-sudut, terbangun fasilitas lapangan tenis dan lapangan basket, ada juga lapangan yang diisi wahana bermain anak-anak.
Bangku-bangku taman di sini pun terbuat dari marmer bersih. Sejumlah penghuni kompleks berkeliaran dengan menuntun anjing-anjing mereka yang beraneka ras. dan tempat ini juga dikelilingi empat gerbang. Masing-masing gerbang dijaga ketat oleh petugas sekuriti, dan semua penghuni apartemen mempunyai satu kartu pintu. Untuk membuka gerbang, kartu itu harus di-scan terlebih dahulu di sensor khusus yang dipasang.
Kecanggihan seperti ini belum pernah kami jumpai di Tembalang. Kami berlima memuji keindahan kompleks, sampai kemudian datanglah wanita cantik berdaster hitam. Dia telah berumur, tetapi masih terlihat muda dan jelita. Itu adalah kali pertama kami berjumpa dengan Miss Adela Zhou, ibu kos terbaik di dunia! Dengan hadirnya Miss Adela, maka masa kami menjadi gelandangan internasional pun resmi berakhir!
Tak terpikirkan sedetikpun bahwa Distrik Haizu yang indah dan damai ini sebentar lagi akan hancur ditelan angin. 135 jam menuju puncak Taifun Mangkhut yang mengancam nyawa!

Bagian 3 : Fragmen Tembalang-Guangzhou : Saat Fajar Menyingsing di Langit China Selatan


Sudah hampir setahun sejak terakhir kali aku mengunjungi Kuala Lumpur. Hujan deras mengguyur tatkala kami bertiga berlari menyeret koper menuju Little India, kawasan pertokoan tempat aku membuat janji dengan Pak Muhammad, satu-satunya orang yang bisa menolong kami mencari barang-barang yang harus kami cari untuk melengkapi prototipe. Dengan pakaian dan koper basah, kami disambut di kedai makan di samping penjual bunga Little India.
Pak Muhammad tak berubah jauh berbeda dari saat terakhir kali kami berjumpa. Beliau masih kekar dengan kulit legam dan wajah kebapakan yang menyenangkan.. Aku menangis seketika saat pria setengah baya itu datang dengan mata berbinar senang. Lelah bercampur dengan sisa panik semasa di bandara tumpah dalam satu aliran air mata saat aku akhirnya merasa bahwa di Malaysia ini masih punya keluarga.
Pak Muhammad dengan seluruh kebaikannya membawaku dalam haru. Tangis tak bisa kubendung lagi saat kami bertiga disalami, dan beliau menawari kami untuk datang ke apartemennya di lantai tiga gedung belakang Little India. Tak lama kemudian, Bu Asma, adik beliau yang dulu juga membantu kami datang. Kunjungan singkat ini terasa lebih menyenangkan meski di bawah tirai hujan.
Pak Muhammad juga membantu kami mendapatkan semua bahan yang kami perlukan. Kami mengobrolkan banyak hal sampai sore, kemudian beliau mengantar kami ke terminal bus di KL Central pukul 5. Kami memang tak sempat berkunjung ke Menara Kembar karena hujan, tetapi beberapa jam duduk santai di Little India sudah cukup mengisi tangki semangatku  untuk melanjutkan perjalanan. Pada Pak Muhammad dan keluarga, kuucap  janji, aku akan ke Little India lagi Januari nanti.
Bis membawa kami dari KL Central kembali ke bandara, dan kami bertiga bersiap terbang. Wajah daratan China sudah terbayang, tetapi karena lelah karena seharian berlari bersama hujan, akhirnya kami bertiga pun tertidur di langit Laut China Selatan. Enam jam terlewati tanpa terasa lagi, sampai tiba-tiba awak pesawat mengumumkan, kami sudah tiba di destinasi.
Baiyun Airport pukul 2 pagi tak jauh beda dengan Makam Diponegoro. Lorongnya sepi dan dingin. Bedanya, tempat ini dipenuhi tulisan-tulisan kanji yang tak kami pahami. Pengecekan paspor dan pengumpulan sidik jari pun dilakukan di mesin-mesin besar di samping jalur conveyor. Kami bertiga menyeret koper dalam kantuk, melewati petugas-petugas gagah yang sepertinya tak bisa berbahasa inggris dan berjalan ke antrian imigrasi untuk mengisi sejumlah formulir pemeriksaan.
Hal pertama yang kupelajari dari China adalah : Penduduk China tak bisa berbahasa Inggris, termasuk petugas bandaranya! Kabar buruk buat kami berlima yang sama sekali tidak tahu caranya berbahasa China.
Pukul 4 pagi, kami baru turun dari tempat klaim bagasi. Masih dengan pandangan kabur karena nyawa belum sepenuhnya terkumpul, aku melihat Anis sudah menunggu kami di bawah eskalator. Anak lincah ini nampak lega saat melihat bayangan kami bertiga. Dia mengaku tak bisa tidur selama delapan jam menunggu kami tiba. Kami pun lega, sesuai janji, Anis dan Andi sama sekali tak pergi meninggalkan bandara.
Berbeda dengan Anis yang cemas berat semalaman, Andi ternyata bisa tidur nyenyak di bangku terdekat. Dia bahkan tak bangun saat kuguncang.
 "Andi nggak bakal bangun kalau nggak dibangunin tujuh kali!" seloroh Inay yang langsung diiyakan seluruh tim.
Tapi guncangan keempat ternyata sudah bisa mengembalikan kesadaran anggota termuda ini.
"Bangun Ndi," kataku. Dia nampak terkejut melihat aku, Inay dan Ragil sudah tiba di China. Dia mengucak mata, mencoba mengumpulkan nyawa. Aku pun mengomando seluruh tim untuk berkumpul dan segera menyusun strategi bertahan hidup berikutnya : Membeli kartu telfon lokal, menukar mata uang lokal, membeli kartu kereta dan mencari transportasi menuju Apartemen.
Andi yang ternyata sudah mensurvei fasilitas bandara pun segera membawa kami mencari penukaran uang di dalam bandara. Dollar kami pun segera pecah menjadi Yuan, siap dipakai untuk bertahan hidup. Untuk berjaga-jaga, kami menyisakan uang dollar sebagai cadangan. Kami juga ke seven eleven untuk membeli kartu kereta. Layaknya dagangan bandara yang serba mahal, kartu kereta di sini pun harganya selangit, jadi kami hanya mampu membeli tiga keping (petugas kasir sevel di sini sangat tidak ramah, mungkin karena kami orang asing). Kartu telfon pun terpaksa kami tebus dengan harga setara uang kos satu bulan (secara harafiah. 182 Yuan itu setara 400 ribu lebih!).
Kami kira, dengan uang dan kartu telfon lokal, posisi kami sebagai turis ini aman. Tetapi, bencana yang sesungguhnya datang. Kartu telfon mahal itu tidak bisa kami gunakan! Ada pengaturan berbahasa China yang sama sekali tak kami pahami. Sambil duduk di beranda bandara (yang merupakan sebuah kesalahan, karena sekali keluar kami sudah tidak diperbolehkan masuk lagi), kami panik berlima.
Apa yang harus kami lakukan? Lima mahasiswa, buta tulisan kanji, tuna wicara bahasa China, dan tanpa jaringan internet! Kami tidak tahu transportasi terdekat atau pun rute keluar kawasan bandara. Nekat keluar pun hanya akan mengantar kami menjadi gelandangan internasional.
Strategi baru terpaksa dibuat. Kemana kami harus pergi? Mencari gerai telfon untuk meminta pertolongan pengaktifan kartu? Tapi dengan transportasi apa? Sementara sekarang kami berada dalam kondisi mengantuk, dan tentu saja lapar! Sudah 16 jam berlalu sejak kami makan di KFC Malaysia.
Aku memaksakan diri berkomunikasi dengan petugas keamanan bandara melalui mesin penerjemah di smartphone mereka, menanyakan tempat makan, gerai telfon dan tempat transportasi terdekat. Dari komunikasi yang serba terbatas itu, aku mendapat informasi bahwa transportasi termudah untuk membawa kami ke gerai telfon adalah dengan naik taksi (yang tentu saja berharga mahal!). Tempat makan tak tersedia di sini kecuali yang ada dalam area bandara (tidak perlu bertanya berapa harganya).
Mengingat uang saku kami yang tak seberapa, sepertinya tidak mustahil kami akan menjadi gembel di trotoar Baiyun.
Lelah, kantuk, panik dan cemas sudah cukup untuk membuat Ragil, Anis dan Andi duduk di bangku terdekat dan tidur di sana. Inay masih panik dan mondar-mandir mencari sinyal wifi bandara. Berbekal jaringan wifi yang sekarat, dia berhasil menghubungi staff INNOPA, agen yang harusnya bertanggung jawab atas terdamparnya lima anak manusia di pojokan bandara.
Waktu sudah menunjukkan pukul  5 pagi. Kami semua lelah dan lapar, tapi tidak mampu berbuat apa-apa. Kusuruh Inay beristirahat sama seperti yang lain. Tak apa menjadi gelandangan untuk sementara, sambil nanti kupikirkan jalan keluarnya. Empat kawanku tidur, menyisakan aku yang mau tak mau harus tetap terjaga.
Aku menggenggam handphone Andi yang baterenya sudah mendekati ajal. Di menit terakhir sebelum handphone itu mati total, ada pesan whatsApp masuk dari Megaria, penanggungjawab kami.
"Kalian naik kereta Metro, turun stasiun Tiyu Xilu."
Tiyu Xilu! Aku melonjak, merasa habis menemukan titik terang dalam gelap. Lelah dan lapar itu seakan terbayar. Info yang datang dalam keadaan wifi dan batere handphone terbatas terasa menjadi penyelamat di tengah panik. Setidaknya kini kami punya nama untuk dituju : Tiyu Xilu.
Aku memandang kawan-kawan yang tengah mengistirahatkan diri. Meski sudah mencicil rasa lega, sepertinya aku masih harus tetap bangun untuk mengawasi mereka. Aku pun duduk di pinggir pilar, mendekatkan kepala ke tangan Andi yang hangat (dia memang punya metabolisme yang tinggi sampai tubuhnya sangat panas), dan menghabiskan sisa shubuh itu untuk berjaga.
Pukul 6.30, untuk pertamakalinya, aku menyaksikan fajar menyingsing di langit China. Sorot mentarinya seakan menjadi pertanda, ini adalah waktunya melanjutkan perjalanan yang luar biasa panjang.
.
Sementara mobil-mobil dan taksi-taksi melewati kami  tanpa gaduh, dan petugas bandara berganti shift tanpa rusuh. Suhu muka laut China meninggi lagi, siap memuntahkan angin dahsyat ke negara-negara terdekat.
Saat Taifun Mangkhut siap berangkat menyambar mangsa, aku dan kawan-kawan bangun dengan senyum, siap beranjak menuju Tiyu Xilu.