marquee

WELCOME TO MY BLOG, FRIENDS!

Laman

Kamis, 25 Oktober 2018

Bagian 2 Fragmen Tembalang-Guangzhou : Saat Kami Terpaksa Terpisah di Malaysia








9 September 2018, pukul 9 pagi. KLIA2 masih terlihat anggun dan indah seperti saat kali pertama aku mengunjunginya. Seperti kunjunganku yang terdahulu, Malaysia masih cantik dan bersahabat. Di KLIA2 kami tak berhasil mengubah nama Andi yang berbeda antara paspor dan tiket. Petugas setempat sempat berkata dengan jengkel padaku dan Andi bahwa bandara transit tak punya wewenang memperbaiki kesalahan nama penumpang. Mengadu ke kantor pusat Air Asia pun tak bisa. Sang petugas berkata, “Kalian tak ada masa. Kalian take off pukul tiga kan?”
Terasa ada petir menyambar dari langit-langit bandara saat kami lihat jadwal penerbangan di tiket Andi ternyata berbeda dengan jadwal yang ada di tiketku. Andi terbang pukul tiga sore, aku pukul delapan malam. Panik, kami berlari ke tempat Anis, Inay dan Ragil menunggu di lantai satu.
Tiket-tiket dikeluarkan, dan kami mulai mencermati jadwal. Benar saja, ada masalah yang lebih genting dari kesalahan nama, yakni kami harus terbang di waktu yang berbeda! Aku, Inay dan Ragil berangkat pukul delapan malam, Andi dan Anis terbang pukul tiga sore.
Runtuh sudah harapan rencana berkunjung ke lanskap-lanskap ikonik Kuala Lumpur yang cantik selama 12 jam transit ini. Saat kami sibuk menganalisa, apa yang salah dengan proses pemesanan tiket pesawat sampai akhirnya kami dihadapkan dengan situasi ini.
Anis mulai resah. Dia dan Andi tak pernah ke luar negeri sekali pun. Menempuh 6 jam perjalanan Kuala Lumpur-Guangzhou perlu mental yang memadai, apalagi dengan bekal bahasa China yang bisa dibilang nol besar. Apa yang nanti akan mereka perbuat di China sana? Menunggu berjam-jam sampai Aku, Inay dan Ragil tiba?
“Nggak ada pilihan sih,” aku menghela nafas sambil menggigit biskuit yang Inay beli. Manisnya tak lagi terasa saat kulihat Anis menunjukkan raut panik yang masih sama. “Kita pisah…”
Kebutuhan Cewek Nomor 1 : Charger HP. Inay in frame
Kebutuhan Cewek Nomor 2 : Narsis

Andi dan Anis, dua adik kelasku itu, mengangguk menyetujui. Lalu Andi dengan gaya tenang khasnya bersuara, “Untung kita ngecek namaku tadi ya. Jadi sadar kalau jadwal kita beda.”
Saat itu aku percaya frasa Every cloud has a silver lining bukan sebuah canda. Akhirnya kami sepakat membiarkan Anis dan Andi tetap berada di Bandara sampai jadwal keberangkatan mereka pukul 3 nanti, sementara Aku, Inay dan Ragil akan berangkat ke pusat Kuala Lumpur untuk membeli sejumlah barang yang masih diperlukan untuk melengkapi prototipe kami : Sliding glass, dan kran air, sebelum kemudian kembali ke bandara untuk take off pukul 8.
Seperti tidak rela membiarkan anak ini pergi ke China seorang diri.
Aku masih ingat betul rute yang harus ditempuh. Dari bandara, dengan tiket bis seharga RM 12, kami bisa turun di KLCentral, menuju pusat informasi untuk mencari toko alat gelas terdekat (setelah dua jam penuh mengontak semua kenalanku di KL dan menanyakan toko alat gelas setempat, akhirnya kami mendapatkan sebuah alamat yang meyakinkan). Rencana selanjutnya adalah mengunjungi Pak Muhammad di Little India. Beliau adalah Bapak asal Madura yang setahun lalu menyelamatkanku, Wiwid dan Ajeng saat terdampar di KL Central. Kunjungan ini untuk memenuhi janji pada beliau bahwa aku takkan lupa hari penyelamatan itu. Kemudian, kami akan ke Menara Kembar, sekedar untuk berpose demi feed Instagram.
Sebelum semua rencana itu dijalankan, didorong rasa lapar karena hanya bisa makan roti tawar di kereta, kami berlima pun beranjak ke restoran cepat saji setempat. Tanpa banyak bertanya, lima porsi Classic Rice KFC segera tersaji, dan kami duduk berjajar di meja terdekat, siap bersantap.
Suap demi suap Nasi Lemak dan semua kelezatannya seolah menjadi tanda, barangkali ini adalah makanan halal terakhir yang barangkali bisa kami nikmati sebelum terbang ke China. Di China sana, kami harus memikirkan caranya mempertahankan diri di tengah minimnya restoran muslim.
Di tengah lelah dan panik, setidaknya masih ada fragmen masa dimana kami berlima bisa duduk dan bertukar tawa. Ada momen dimana kami masih bisa melempar canda, di satu meja yang sama, di hadapan lima hidangan yang sama. Setidaknya, meski kami terpaksa terpisah di Malaysia, kami terpisah dalam keadaan kenyang dan bahagia.
Tawa bahagia itu berderai tepat 160 jam sebelum aku berteriak kesakitan karena mataku tersambar serpihan kayu di tengah pertaruhan nyawa melawan murkanya alam daratan China.

Bersambung

Minggu, 21 Oktober 2018

Bagian 1 Fragmen Tembalang-Guangzhou : Saat Perjalanan 14 Hari ini dimulai





Ruas jalanan di pojokan Guangzhou, China Selatan, terasa lenggang. Satu dua pejalan kaki melintas bersama Dachshund atau Pomeranian mereka, memercikkan genangan-genangan kecil di atas aspal bekas hujan semalam. Pasca taifun yang habis menghantam empat negara -Hongkong, Taiwan, China Selatan dan Filipina- Guangzhou termasuk region yang lekas pulih seperti sedia kala. Seng dan kaca-kaca tak lagi berserak di sepanjang pertokoan, dan pagar-pagar tak lagi berhambur terseret angin di area pintu masuk stasiun kereta. Warganya pun kembali beraktivitas tanpa kulihat ada raut was-was.
Aku percaya frasa badai pasti berlalu, tapi tak pernah secara harafiah. Bagi anak yang lahir dan besar di tanah nusantara yang bertekanan udara stabil, Taifun Mangkhut adalah taifun besar pertama yang kuhadapi secara langsung. Derasnya angin bercampur dengan pecahan kayu dan kaca seakan siap mencacah badan ini kapan saja. Para pejalan kaki terhempas, dan payung-payung patah tanpa aba-aba.
Bertahan hidup di bawah Taifun Mangkhut tidak pernah ada di dalam rencana perjalanan kami ke China. Kami hanyalah mahasiswa-mahasiswa biasa, mengais rupiah dari menjual proposal ke universitas demi bisa mengambil bagian dari sebuah event pameran ilmiah berskala internasional yang diadakan di Kota Foshan, Provinsi Guangdong. Event itu berjalan lancar, dan kami sudah membayangkan pulang ke Tanah Air dengan wajah ceria karena selesai bermisi di tanah panda.
Keceriaan itu dihapus paksa oleh pengumuman penundaan penerbangan karena Taifun Mangkhut mengamuk tanpa permisi, menewaskan lusinan orang naas di region Utara Filipina, dan menghancurkan sebagian Hongkong dan Taiwan. Sang Taifun seakan tak puas menghancurkan kepulauan, ekornya yang dahsyat pun mencium daratan utama. Guangdong yang berada di bibir samudera pun lebur pertama, habis porakporanda. Kami –mahasiswa-mahasiswa biasa ini— ikut terjebak di dalamnya. Angin membuat kami harus berlari dari stasiun kereta ke apartemen dengan bertaruh nyawa.

Itu adalah fragmen kecil dari perjalanan kami berlima ke tanah China. Tanggal 8 September 2018, kereta api membawa kami bertolak dari bumi Semarang menuju Ibukota. Kami berlima, dengan semangat petualang yang masih menyala, menyapa Jakarta dan seluruh hiruk pikuknya.


"Something is about to happen". Poncol - Tanah Abang yang penuh cerita
Namanya Wahyu, tapi sistem limbic otakku terus memanggilnya "Andi"

Andi, kawan kami yang termuda, memanggil salah seorang kerabat untuk membantu kami pergi menuju bandara, bersiap terbang untuk menuju destinasi selanjutnya : Malaysia. Sepuluh jam transit di KLIA sudah cukup membuatku membayangkan banyak hal yang bisa kulakukan di sana, mengunjungi Petronas misalnya. 
Tanggal 9 September 2018, pesawat Air Asia baru menerbangkan kami dari Bandara Soekarno Hatta pukul 5 pagi. Setelah serentetan insiden penyitaan barang-barang liquid di kantor imigrasi, dan kejadian salah nama antara tiket dan paspor milik Andi, akhirnya pesawat lepas landas, membawa kami berlima meninggalkan Indonesia.
Bandara Soetta dan sisa semangat Asia Gamesnya

Aku dan Anis
Rasa lelah akibat semalaman tidur di bangku bandara terbawa naik ke udara. Inay dan Ragil yang duduk di deret yang berbeda segera terlelap kembali, sambil menunggu pesawat ini mendarat lagi. Anis berada di deret yang berbeda juga. Barangkali karena semalam dia tidur di mushola –tempat yang lebih nyaman daripada bangku ruang tunggu— anak itu punya energi lebih untuk tetap terjaga, mengobrol dengan sembarang penumpang di deret yang sama. Di belakang Anis, Andi juga tertidur, tak sempat memikirkan bagaimana ceritanya nama antara tiket dan paspornya bisa menjadi berbeda.
               Sedangkan aku, menyandar ke jendela, melihat bagaimana sayap kiri pesawat bisa timbul tenggelam ditelan awan. Pikirku berkelana, meski ini bukan pertama kali aku pergi ke luar negeri, tapi cemas itu tetap terasa. Kami pergi dalam rangka menghadiri acara pameran ilmiah, dengan membawa nama negara di mata cendekia-cendekia sedunia di China.
                China! Tidak terbayangkan kaki mahasiswa yang sehari-hari hanya menjelajah tanah Tembalang, kini terbang ke negeri Nenek Moyang. Aku tidak bercanda saat bilang China adalah negeri nenek moyang. Bukti Antropologi mengatakan bahwa penduduk semenanjung Malaya dulunya berasal dari Yunan, China Selatan. Sementara pesawat terus bergerak bersama singsingnya fajar, aku berdoa, semoga segalanya akan baik-baik saja. 
Jakarta-Kuala Lumpur juga penuh cerita
Semua memang baik-baik saja, sampai suhu di muka laut China naik, dan perbedaan tekanan udara melahirkan pusaran angin yang luar biasa. Pusaran itu berdiri dan terus meninggi, menyambar negara-negara di sekitar sana. 170 jam sebelum kami semua terjebak di dalam hempasan ganasnya, Air Asia transit, membawa kami mendarat di landasan KLIA.
Malaysia menyambut kami ramah, tanpa ada sekelebatpun pertanda, ada bencana siap menjegal kami berlima.

Bersambung
...