marquee

WELCOME TO MY BLOG, FRIENDS!

Laman

Minggu, 08 April 2018

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA (PKM) LIMA BIDANG


Program Kreativitas Mahasiswa 5 BIDANG

Apa itu program kreatifitas mahasiswa?
      Suatu wahana bagi mahasiswa untuk mengembangkan kreativitas dan memberi manfaat bagi masyarakat
      Bertujuan mengantarkan mahasiswa mencapai taraf pencerahan kreativitas dan inovasi, berlandaskan pada penguasaan sains dan teknologi
      Muaranya berupa penghargaan PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional)

Jenis-jenis PKM 5 BIDANG
  • PKM PENELITIAN (PKM-P)
  • PKM KEWIRAUSAHAAN (PKM-K) 
  • PKM TEKNOLOGI (PKM-T) 
  • PKM KARSA CIPTA (PKM-KC) 
  • PKM PENGABDIAN MASYARAKAT (PKM-M)


What Is PKM P?
Terdiri Dari Pkm Pe (Penelitian Ekstakta) Dan Pkm Psh (Penelitian Sosial Humaniora)
Ü Bentuk Kegiatannya Penelitian Dan Menghasilkan Data
Ü Keluarannya Berupa Publikasi Ilmiah (Wajib Publikasi Ilmiah)
Ü Bentuk Publikasi Ilmiah
Q Jurnal Nasional
Q Jurnal Internasional
Q Prosiding
Q Eksibisi Internasional (Opsional)

What Is PKM K?
•      Bentuk Kegiatannya Berupa Wirausaha (Berjualan Barang Atau Jasa)
•      Orientasi Profit/Keuntungan
•      Harus Ada Perhitungan Ekonomi Usaha
•      Dapat Berlanjut Terus (Bisa Menjadi Usaha Yang Kontinyu)
•      Luarannya Berupa Keuntungan Finansial Dan Publikasi Populer
•      Bentuk Publikasi Populer
Q Liputan Koran
Q Liputan Majalah
Q Liputan Televisi
Q Liputan Website Terpercaya

What Is PKM T?
•      Bentuk Kegiatannya Adalah Membuat Teknologi Untuk Membantu Masyarakat Produktif (Teknologi Diberikan Kepada Mitra Secara Cuma-Cuma ; Bukan Dijual)
•      Menjalin Mitra Dengan Masyarakat Produktif (Misalnya Petani, Pedagang, Nelayan, Industri Pabrik, Home Industri)
•      Harus Ada Surat Perjanjian Dengan Mitra
•      Berorientasi Pada Penyelesaian Masalah Mitra Dan Harus Bisa Kontinyu
•      Luaran Berupa Peningkatan Keuntungan Mitra Dan Publikasi Ilmiah Atau Populer

What Is PKM KC?
•      Bentuk Kegiatan Membuat Prototipe Alat Yang Aplikatif Dan Fungsional
•      Boleh Membuat Desain Tiruan Atau Rancangan Digitalnya Sebagai Alat Peraga
•      Berpotensi Dikembangkan
•      Luaran Berupa Prototipe Alat Utuh, Publikasi Ilmiah Atau Publikasi Populer.

What Is PKM M?
•      Bentuk Kegiatannya Berupa Pengabdian Kepada Masyarakat Non Produktif
•      Menjalin Mitra Dengan Masyarakat Non Produktif (Ibu-Ibu Di Desa, Anak-Anak Sekolah, Penderita Penyakit, Masyarakat Pada Umumnya, Tidak Mengarah Pada Industri/Kegiatan Usaha Tertentu)
•      Harus Ada Surat Perjanjian Mitra
•      Berorientasi Pada Penyelesaian Masalah Mitra
•      Luaran Berupa Terselesaikannya Masalah Mitra, Dan Publikasi Populer



Adaptasi Tumbuhan Lumut Terhadap Intensitas Cahaya Matahari



ADAPTASI TUMBUHAN LUMUT TERHADAP INTENSITAS CAHAYA MATAHARI



Disusun Oleh :
Ferisa Lestari Nugrahayu






Departemen Biologi
Fakultas Sains dan Matematika
Universitas Diponegoro
Semarang
April, 2018
 

 

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

            Lumut atau Bryophyta adalah salah satu tumbuhan tingkat rendah yang menjadi titik evolusi penting bagi kolonisasi tumbuhan teresterial. Fitur-fiturnya telah menunjukkan adanya adaptasi kehidupan darat, dan diversifikasi lumut yang luar biasa menunjukkan kesuksesan kelompok tanaman ini untuk sintas di luar wilayah akuatik. Hingga kini, diperkirakan lumut telah terspesiasi menjadi 24.100 spesies dari 3 filum yang berbeda, Hepatophyta, Anthocerophyta dan Bryophyta (Campbell, et al., 2012).
Adaptasi-adaptasi penting dari lumut antara lain adaptasi terhadap perolehan hara, ketersediaan air untuk reproduksi, perlawanan terhadap patogen, dan adaptasi terhadap cahaya matahari. Struktur sporopollsenin dan kutikula mencegah lumut dari desikasi, sintesis metabolit sekunder memberikan perlindungan, dan asosiasi dengan mikoriza memberikan akses pada perolehan nutrisi yang baik (Reece, et al., 2016).
Cahaya matahari menjadi salah satu faktor pembatas penting bagi seluruh organisme fotosintetik, termasuk lumut. Berbeda dengan di habitat akuatik, di habitat teresterial cahaya matahari tidak tersaring oleh kolom air (Hoefnagells, 2015). Sebagai organisme fotosintetik, lumut memiliki kloroplas yang disesuaikan dengan kebutuhanya akan sinar matahari. Penelitian  terdahulu menunjukkan bahwa lumut juga punya jaringan fotosintesik berventilasi yang memberikan peningkatan area untuk penyerapan CO2 dan memaksimalkan proses fotosintesis (Marschall & Proctor, 2004).
Mengetahui adaptasi tumbuhan lumut terhadap ketersediaan intensitas matahari menjadi penting, karena membantu kita memahami salah satu adaptasi darat yang penting, yakni proses fotosintesis di habitat darat, apa yang membuat proses itu berbeda dari kerabat akuatik terdekatnya, alga Charophyta, dan bagaimana adaptasi tersebut dievolusikan. Adaptasi itu terdiri dari adaptasi struktur tubuh, jenis klorofil yang dikandung tiap spesies, self shading dan adaptasi fisiologi terhadap intensitas cahaya yang rendah.



B. Tujuan

            Untuk mengetahui adaptasi lumut terhadap cahaya matahari secara menyeluruh, baik anatomi atau fisiologi.

C. Manfaat

            Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan terkait adaptasi tumbuhan lumut terhadap kehidupan teresterial dan  terhadap kondisi daratan.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Adaptasi Struktural

1. Lens Cell dan Mammillose Cell

Glime (2017) menyebutkan salah satunya adalah keberadaan struktur yang dinamakan lens cell. Sel ini berlokasi di permukaan daun dan berfungsi untuk memfokuskan cahaya. Hal yang menarik adalah, pada lumut yang hidupnya ternaungi, selnya berbentuk bulat, sedangkan pada lumut yang tersinari matahari, selnya berbentuk elips. Schistostega pennata adalah contoh lumut yang memiliki tipe sel ini, dan punya protonema yang bersifat luminescent. S.pennata tumbuh berpendar di gua-gua, tetapi tetap sintas meski hidup dalam naungan.
Selain lens cell, struktur lain yang dimiliki oleh sejumlah lumut tertentu adalah mammillose cells. Sel ini mirip dengan lens cell, berfungsi untuk memfokuskan cahaya.  Plagiomnium tuomikoski adalah contoh lumut yang mempunyai banyak mammillose cell di permukaan daunnya.
Fungsi dari sel-sel pemfokus cahaya ini berguna untuk mendistribusikan cahaya yang diterima, sekalipun daun-daun lumut saling tumpeng tindih. Adaptasi ini juga difasilitasi kemampuan kloroplas lumut dalam menyusun dirinya sendiri di sel periferal, sehingga memungkinkan tetap dapat menerima sinar matahari sekalipun saling tumpeng tindih dan ternaungi.

2. Reflektansi Permukaan

Saat menerima cahaya matahari yang akan digunakan untuk fotosintesis, lumut akan menyerap sebagian cahaya dan memantulkan sisanya. Menurut Lovelock & Robinson (2002), lumut memiliki reflektansi (pemantulan cahaya) permukaan yang berbeda-beda, namun perbedaan ini tidak berkaitan dengan konsentrasi pigmen yang terkandung di dalam lumut itu sendiri.  Perbedaan reflektansi diduga disebabkan karena bentuk permukaan dan kadar air di dalam lumut.
Studi terhadap lumut antartika Bryum pseudotriquetrum, Ceratodon purpureus dan Schistidium antarcticum menunjukkan bahwa lumut sangat mirip dengan Angiospermae dalam hal reflektansi UV. Namun uniknya, rasio cahaya yang diserap dan dipantulkan ternyata berkorelasi kuat dengan keberadaan kompleks klorofil-protein yang selama ini melindungi lumut dari udara dingin. Hal ini mempengaruhi bagaimana proses fotosintesis lumut di daerah yang cahaya mataharinya yang tidak melimpah sekaligus dingin seperti di antartika.
C.purpureus teramati memiliki kadar klorofil yang rendah dibanding dua contoh yang lain, tetapi antosianinnya tinggi. Sedangkan B.pseudrotriquetrum memiliki kadar klorofil tertinggi, namun karotenoidnya rendah. Karotenoid dan Antosianin di sini berfungsi selain sebagai pigmen aksesori juga sebagai fotoprotektan terhadap UV yang merusak. Ketersediaan air terbatas, lumut-lumut ini akan terdehidrasi. Namun re-hidrasi mampu meningkatkan kemampuan reflektansi. Hal ini merupakan salah satu adaptasi yang juga membuat lumut mampu sintas di daerah dengan sinar matahari minimal sekaligus kering.
Glime (2017) menerangkan lumut lebih reflektif daripada tumbuhan tingkat tinggi. Hal ini diduga karena lumut mempunyai kadar air yang lebih tinggi di dalam jaringannya dibandingkan dengan tumbuhan yang lain. Beberapa jenis lumut seperti Sphagnum bersifat sangat reflektif karena dia menyerap cahaya merah dalam panjang gelombang yang sempit. Lumut lain dari spesies Plagiomnium acutum punya kapasitas yang luar biasa dalam menyerap dan merefleksikan cahaya, dibandingkan dengan Herpetineuron toccoae yang sama-sama tumbuh di tempat yang basah tapi ternaungi.





3. Indeks Area Daun

Leaf Area Index (LAI) atau indeks area daun merepresentasikan prosentase muka tanah yang ternaungi oleh dedaunan. Indeks area daun pada lumut ternyata proposional terhadap intensitas cahaya, tetapi hal ini belum banyak diteliti. Glime (2017) menyebutkan bahwa dalam penelitian terdahulu, terungkap bahwa semakin toleran suatu lumut terhadap desikasi, maka semakin luas LAI nya. Syntrichia ruralis punya LAI sebesar 44, Ceratodon purpureus punya LAI sebesar 129, dan Hypnum cupressiforme yang tercatat lebih toleran memiliki LAI 103.
Mengapa justru lumut yang punya LAI besar? Seperti yang teramati pada tracheophyte, bahwa dedaunan tersusun dalam suatu susunan yang meminimalkan posisi tumpang-tindih untuk memaksimalkan penetrasi cahaya matahari. Sedangkan lumut sendiri tumbuh bersama-sama dalam jumlah besar sehingga mengalami banyak posisi tumpang-tindih pada daunnya. Hal ini menyebabkan adanya self shading. Sebagai bentuk adaptasi agar self shading ini tidak mengganggu perolehan cahaya matahari, lumut mengorientasikan arah tumbuhnya secara horizontal, bukan vertikal, sehingga meskipun tumbuh dalam jumlah besar, tumpang-tindihnya daun dapat dihindari sehingga perolehan cahaya matahari tetap baik meski dalam kondisi cahaya yang minimal.


B. Adaptasi Fisiologi

1. Klorofil dan Pigmen Aksesori

Lumut tergolong ke dalam tanaman C3 yang secaran alami didesain untuk menangkap cahaya dalam intensitas yang rendah. Lumut teramati memiliki rasio klorofil a:b yang cenderung lebih rendah daripada tracheophyte. Para ilmuwan menduga bahwa rendahnya rasio klorofil a:b penting bagi lumut karena lumut bersifat poikilohydric, yang berarti bergantung pada kelembapan atmosferik untuk meregulasi kadar air internal, dan biasanya kelembapan tinggi terjadi pada lingkungan dengan kadar cahaya matahari rendah. Karena itu lah kadar klorofil lumut didesain untuk beradaptasi dengan kadar cahaya rendah.
Hammerlynck (2002) dalam Glime (2017) menyatakan bahwa satu spesies lumut Xerofitik, Syntrichia ruralis punya konsentrasi klorofil tertinggi ketika ditempatkan di dalam lingkungan berintensitas cahaya rendah dibandingkan dengan lumut yang lain. Lumut lain yang memiliki konsentrasi klorofil tertinggi selain S.ruralis adalah Cyanthodium tuberosum, yakni mencapai 3,636 mg/g massa kering. Sedangkan yang memiliki kadar klorofil yang rendah adalah Entodon prorepens (0,667 mg/g massa kering). Hasil penelitian menunjukkan ketika intensitas cahaya di lingkungan lumut dinaikkan, konsentrasi klorofil dari lumut tidak meningkat. Hal ini berlaku untuk semua spesies lumut.
Pigmen di samping klorofil juga membantu lumut merespon cahaya, seperti yang ditunjukkan spesies Rhytidiadelphus triquetrus, R. squarrosus dan Mnium hornum yang mengandung Biflavonoid. Kadar senyawa ini berhubungan erat dengan fotoperiodisme dan intensitas cahaya yang mereka terima. Selain itu, ketika lumut ditempatkan di tempat ternaungi, kadar karotenoidnya menjadi meningkat dibandingkan dengan ketika lumut ditempatkan di daerah terbuka. Ketika musim penghujan, dimana pertumbuhan lumut telah mencapai kadar maksimum, rasio klorofil:karoten mencapai titik tertinggi. Sedangkan pada saat terpapar matahari dengan intensitas yang tinggi, lumut menghasilkan pigmen kuning yang disebut lutein.
Salah satu hal yang menarik adalah, pigmen aksesoris di samping klorofil hadir dalam berbagai variasi dan konsentrasi seiring perubahan intensitas cahaya yang diterima oleh lumut. Antosianin atau pigmen ungu terkadang hadir lebih tinggi dibandingkan dengan klorofil, sedangkan pigmen-pigmen yang sifatnya fotoprotektif seperti zeaxanthin dan antheraxantin sifatnya berkorelasi negative dengan klorofil.
Hal ini menjadi sangat penting karena ketika cahaya matahari sedang menyengat, klorofil akan menurun dan pigmen fotoprotektan akan meningkat sebagai bentuk perlindungan, sebaliknya ketika intensitas cahaya matahari turun, klorofil naik dan pigmen fotoprotektan akan turun.



2. Pergerakan Kloroplas

Pada beberapa lumut, kloroplas dapat bergerak ke arah datangnya cahaya. Kemampuan kloroplas mengorientasikan dirinya terhadap cahaya memaksimalkan serapan energi cahaya yang diperlukan oleh lumut. Pada intensitas cahaya rendah, kloroplas menyebar, tetapi saat lumut terpapar cahaya dengan intensitas tinggi, kloroplas bergerak ke tepi. Mekanisme ini ada pada alga, paku maupun lumut. tetapi ada beberapa lumut yang menunjukkan respon yang lambat pada mekanisme ini, contohnya Physcomitrella patens.
Respon ini tergantung pada intensitas cahaya yang merangsangnya. Cahaya merah 0.118 W/m2 atau Cahaya biru 0.01-85.5 W/m2 menginduksi akumulasi kloroplas, tetapi cahaya yang lebih tinggi, yakni Cahaya merah 60 W/m2 tidak. Respon ini dimediasi oleh fitoktom. Beberapa spesies lumut juga mengembangkan bentuk adaptasi yang unik terkait pergerakan kloroplas, seperti misalnya Physcomitrella patens yang tak hanya merespon cahaya tetapi juga dapat merespon keberadaan senyawa kimia tertentu.


BAB IV
SIMPULAN


                Adaptasi lumut terhadap intensitas cahaya matahari terdiri dari adaptasi struktural dan fisiologi. Adaptasi struktural terdiri dari adanya lens cell dan mammillose, reflektansi permukaan dan LAI. Sedangkan adaptasi fisiologi terdiri dari keberadaan klorofil dan pigmen aksesori dan pergerakan kloroplas.

DAFTAR PUSTAKA


Campbell, N. B., Reece, J. B., Urry, A. L., Cain, L. M., Wasserman, A. S., Minorsky, P. V., & Jackson, R. B. (2012). BIOLOGI. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Glime, J. M. (2017). Bryophyte Ecology. Michigan: Michigan Technological University and the International Association of Bryologists.
Hoefnagells, M. (2015). Biology Concepts and Investigation 6th edition. New York: McGraw Hill Higher Education.
Lovelock, & Robinson. (2002). Surface Reflectance Properties of Antartic Moss and Their Relationship to Plant Species, Pigment Composition and Photosynthetic Function. Plant Cell Environment, 1239-1250.
Marschall , M., & Proctor, M. C. (2004). re bryophytes shade plants? Photosynthetic light responses and proportions of chlorophyll a, chlorophyll b and total carotenoids. Ann Botanical.
Reece, J. B., Urry, L. A., Cain, M. L., Wasserman, S. A., Minorsky, P. V., & Jackson, R. B. (2016). Campbell Biology Ninth Edition. San Fransisco: Pearson Education ltd.