marquee

WELCOME TO MY BLOG, FRIENDS!

Laman

Selasa, 09 Februari 2021

Gagasan Implementasi Internet of Things (IoT) Dalam Pengelolaan Sampah Domestik Untuk Mengoptimalkan Pemilahan Sampah di Zero Waste Cities

 Sampah Sebagai Sejarah Umat Manusia

Saat ini, para paleoantropolog mempelajari sejarah dunia melalui fosil purba yang telah terabadikan zaman. Beratus tahun yang akan datang, barangkali manusia tidak akan mempelajari sejarah dunia melalui fosil, melainkan melalui sampah-sampah yang tertimbun di strata tanah.

Sama seperti fosil yang menjadi jejak kehidupan lampau, kelak, sampah pun akan menjadi jejak bagaimana manusia saat ini hidup. Manusia di masa depan akan melihat sampah-sampah yang tak terbusukkan zaman menumpuk memenuhi lapisan-lapisan tanah planet ini, dan menceritakan betapa tak bijaknya manusia di abad ke-21 mengelola sisa-sisa aktivitas mereka.

Sampah, baik organik maupun anorganik, memang telah menjadi masalah global umat manusia. Kebanyakan dari sampah itu ditimbun di tempat pembuangan akhir, diabaikan, atau dibakar. Sebagian lain dialirkan dengan semena-mena ke lautan, dengan asumsi, karena lautan mengisi 70% porsi planet ini, maka laut takkan pernah kehabisan ruang (meski pada hakikatnya sampah tersebut merebut ruang hidup biota laut). Apabila kita tidak melaksanakan pengelolaan yang baik, dalam jangka waktu yang lama, sampah tidak hanya akan menggerogoti kesehatan bumi, namun juga akan menjadi ancaman bagi umat manusia sendiri, baik kini maupun di masa yang akan datang.

Upaya Pemilahan Sampah dan Hambatan Sosialnya

Sumber: YPBBBlog (http://ypbbblog.blogspot.com/2020/09/antara-tugas-resiko-upah-dan.html)

Banyak upaya yang telah digalakkan di masyarakat untuk memaksimalkan pengelolaan sampah. Salah satu yang paling sederhana yang juga banyak digaungkan dan diimplementasikan di level terkecil adalah pemilahan sampah. Pemilahan tak hanya mempermudah pemisahan antara sampah yang dapat didaur ulang dan tidak, tetapi juga secara tidak langsung akan membantu menekan volume sampah yang masuk ke TPA (karena sampah organiknya diolah terpisah), dan meminimalisir resiko terbentuknya metana dalam jumlah besar (seperti yang terjadi pada tragedi longsornya gunung sampah di TPA Leuwigajah Cimahi akibat ledakan gas metana di tumpukan sampahnya).

Sumber : Freepik.com

Akan tetapi, pada prakteknya, pemilahan sampah tidak selalu berjalan dengan baik. Pemilahan sampah yang tidak berjalan dengan baik dapat dilandasi oleh berbagai faktor, antara lain, kurangnya edukasi mengenai pemilahan sampah, serta mindset bahwa mengelola sampah domestik dianggap sebagai pekerjaan yang kotor, dan hanya menjadi tanggung jawab petugas sampah –yang selama ini tercitrakan sebagai pekerja kasar dan berpendidikan rendah.

Faktor lain adalah ketidakpedulian masyarakat mengenai kemana sampah domestik mereka akan pergi selepas diangkut. Sosialisasi mengenai pemanfaatan sampah organik sebagai pupuk kompos pun tidak selalu berjalan dengan baik, terutama di daerah perkotaan. Masyarakat perkotaan tidak memiliki motivasi untuk memproduksi kompos mereka sendiri, karena mereka cenderung tidak memanfaatkan kompos tersebut secara konkret, akibat minimnya aktivitas bercocok tanam di lingkungan sekitar.

Pengelolaan Sampah dengan Sentuhan IoT Sebagai Solusi Sekaligus Modernisasi Menuju Zero Waste Cities

Sumber : Freepik.com

Tahun 2021, masyarakat tidak bisa dipisahkan dari smartphone dan internet. Saat ini juga, Era revolusi industri 4.0 sudah bukan lagi menjadi wacana. Salah satu bagian dari era revolusi industri 4.0 adalah Internet of Things atau IoT. IoT sendiri didefinisikan sebagai konsep komputasi dimana benda yang kita pakai sehari-hari dapat terhubung dengan internet. Di era dimana hampir tidak ada tangan yang tidak menggenggam smartphone, gagasan di atas dapat menjadi lebih dari sekadar angan-angan utopis!

Tulisan ini memuat gagasan untuk mengintegrasikan IoT yang futuristik dengan upaya edukasi, pemilahan dan pengelolaan sampah, dengan harapan dapat menggeser stigma masyarakat terhadap pengelolaan sampah yang dianggap kotor dan kasar. 

Sebagai gambaran, bayangkan keluarga Anda memiliki sebuah tempat sampah di dapur. Suatu kali, ketika Anda sedang berselancar di instagram –melihat infotaiment atau mencari resep makan siang– tiba-tiba tempat sampah di dapur Anda mengirim notifikasi bahwa “dirinya” telah terisi sampah sebanyak 80%.

Notifikasi tersebut muncul bersama informasi bahwa petugas sampah akan datang sore ini pukul 16.00.  Notifikasi itu dilanjutkan dengan pengingat untuk memisahkan sampah anorganik, dan organik. Sampah anorganik harus masuk ke bak sampah di luar untuk diangkut petugas, dan yang organik harus dimasukkan ke dalam komposter.

(Fun fact: Tempat sampah Anda dilengkapi sensor ultrasonik yang terpasang di bawah tutup tempat sampah, yang dapat mendeteksi berapa banyak sampah di dalamnya; dan dihubungkan dengan kontroler yang dilengkapi modul wifi untuk menghubungkan datanya ke Aplikasi yang ada di smartphone. Aplikasi dikembangkan secara terpisah oleh tim IT dan masyarakat tinggal memakainya saja.)

Kemudian Anda beranjak dari sofa, mengambil sampah di dapur yang sebelumnya telah Anda pisahkan dengan teliti, dan membawanya ke bak sampah di depan pagar dan ke komposter untuk dibuang. Ketika Anda memasukkan sampah, tanpa Anda ketahui, di dalam bak sampah, ada sensor yang mengkalkulasi berapa kilogram buntalan sampah yang Anda buang.

(Fun fact: Bak sampah utama Anda dilengkapi dengan load cell yang dapat mendeteksi berat; dan dihubungkan dengan kontroler)

Lalu Anda segera mengarahkan QR scanner dari smartphone ke kode QR yang tertera di bak sampah. QR kode itu semacam verifikasi yang menghubungkan Anda dengan bak sampah, sehingga data tipe sampah, volume sampah, dan waktu pembuangan dapat langsung masuk ke smartphone milik Anda saat itu juga.

(Fun fact: QR code bisa juga diganti dengan fitur Near Field Communication/NFC untuk mencegah QR code nya difoto orang lain dan disalahgunakan, namun untuk saat ini, belum semua smartphone punya fitur NFC sehingga QR code menjadi opsi yang lebih universal)

Data tersebut akan muncul dalam bentuk output grafik, bersama-sama dengan data pembuangan sampah dari minggu-minggu dan bulan-bulan sebelumnya, sehingga jumlah sampah yang Anda hasilkan dalam rentang waktu tertentu dapat terus terlacak dan mudah dibaca.

Hasil data ini juga dapat segera dikirim ke server pusat wilayah dan direkam di sana. Datanya terakumulasi bersama data masyarakat lain dalam wilayah tersebut, sehingga pihak pusat dapat memantau volume sampah yang dibuang oleh masyarakat di wilayah tersebut secara real time.

(Fun fact: Pengiriman data ke smartphone Anda dan ke pusat wilayah tidak lagi menggunakan modul wifi, tetapi bisa menggunakan jaringan Narrowband Internet of Things/NB-IoT)

Hasil pantauan ini kemudian dijadikan salah satu acuan pembentukan regulasi sampah oleh pemerintah wilayah, misalnya regulasi mengenai volume maksimal sampah, atau regulasi mengenai diet sampah plastik apabila ada lonjakan volume sampah plastik, juga bisa menjadi acuan dalam pemberian penghargaan kepada wilayah yang dapat mengendalikan laju produksi sampah mereka.

Kemudian, bayangkan saat Anda hendak kembali ke rumah, smartphone Anda mengeluarkan alarm darurat berwarna merah. Ada peringatan bahwa sensor oksigen/sensor lambda yang dipasang di komposter mendeteksi adanya penurunan kadar oksigen dibawah kadar oksigen optimal pembentukan kompos. Anda segera menekan tombol pengadukan untuk melakukan aerasi agar kadar oksigen meningkat, dan kompos Anda akan terbentuk dengan baik.

Sistem sensor suhu, aerasi, pH dan kelembapan di dalam komposter dapat mengirim alarm serupa ke smartphone Anda ketika terjadi penyimpangan kondisi yang tidak seharusnya (Seperti kurangnya Oksigen atau naiknya pH). Sistem ini membantu Anda –yang bahkan tak tahu menahu soal pembuatan kompos– tetap dapat menghasilkan pupuk kompos berkualitas baik, terkontrol, dan layak jual.

Suatu hari, saat kompos Anda telah “matang”, Anda dapat memanggil petugas via aplikasi untuk mengambil kompos tersebut ke rumah Anda, dan menukarnya dengan sejumlah rupiah. Rupiah ini dapat berupa uang fisik, ataupun e-money yang sudah terintegerasi di aplikasi. Petugas kemudian akan mengangkut kompos Anda dan mengomersilkannya sebagai produk unggulan wilayah (tentunya setelah kompos ini dicek mutunya sesuai SNI, dan dikemas dengan apik). Uang yang diberikan kepada Anda adalah insentif, karena Anda telah menjalankan pemilahan sampah dengan baik. Insentif berasal dari sebagian keuntungan komersialisasi pupuk kompos ini.

Kemudian bayangkan, di sudut jalan yang lain, petugas sampah tengah memeriksa GPS di layar smartphone nya yang ditandai dengan titik-titik lokasi tempat sampah berbasis IoT, beserta rute yang harus ditempuh untuk mengumpulkan sampah-sampah tersebut. Ketika si petugas sampai ke bak sampah Anda, petugas tersebut menemukan sisa makanan di dalam bak sampah anorganik. Beliau kemudian melaporkan temuan tersebut dan melampirkan foto bukti ke dalam sistem. Peringatan akan langsung masuk ke smartphone Anda, menyatakan bahwa Anda telah melanggar peraturan pemilahan sampah. Anda akan langsung dikenakan denda. Beberapa fitur aplikasi Anda pun akan dikunci, dan kunci baru dapat dibuka apabila denda telah lunas.

Alur pembuangan sampah (Dokumen pribadi)


 
Alur pengendalian pelanggaran dalam pemilahan (Dokumen pribadi)

Alur pengelolaan kompos (Dokumen pribadi)

 

Bayangkan semua sistem di atas betul-betul ada di lingkungan kita, terintegerasi dengan internet, dan bisa dikontrol dalam genggaman. Mengelola sampah bukan lagi pekerjaan yang jorok, melainkan menjadi upaya penyelamatan planet dengan cara yang modern,  keren dan terkontrol.

Di masa depan, bisa saja gagasan ini dinaikkan ke level yang lebih advanced, misalnya dengan menginovasikan teknologi olah citra dan Artificial Intelligence Embedded System untuk mengenali dan menangani sampah yang tidak terpilah dengan baik; menyematkan sistem pengaman untuk memastikan bahwa sampah tidak akan diambil oleh pemulung; atau mengintegrasikan Aplikasi dengan sistem e-money untuk membayar iuran sampah dan denda sampah secara otomatis.

Apakah IoT dalam Pengelolaan Sampah Over-Engineering?

Implementasi dari gagasan ini memang akan melahirkan tantangan yang sangat besar, antara lain biaya yang tidak sedikit, stok sumber daya manusia –engineer dan pakar IoT– yang tak boleh seret, dedikasi pemerintah yang tinggi dalam mengoptimalkan keberjalanannya, dan juga tantangan untuk menjaga teknologi IoT ini tetap dalam perpetual connection (koneksi yang tak terputus). Begitu besarnya tantangan yang muncul, mungkin tak jarang yang akan mencibir inovasi ini sebagai sesuatu yang over-engineering, atau teknologi sederhana yang terlalu dirumit-rumitkan.

Namun, apabila kita menilik lebih dekat, kesan over-engineering ini menjadi tidak terasa, karena ada buah yang dapat dinikmati di ujungnya. Dengan melihat pengelolaan sampah tradisional yang kadang masih terkendala, serta majunya teknologi, gagasan IoT dalam dunia pengelolaan sampah ini akan mampu memberikan manfaat yang tak kalah signifikan, antara lain:

  1. Memotivasi masyarakat untuk menerapkan pemilahan sampah secara kontinyu dengan jalan memberi notifikasi dan peringatan secara periodik
  2. Menumbuhkan kesadaran pengelolaan sampah kepada anak muda yang sehari-hari berkutat dengan smartphone; karena anak muda biasanya cenderung tertarik pada fitur-fitur baru, futuristik dan menarik dari smartphone mereka
  3. Memudahkan pemerintah memonitor volume sampah di wilayahnya sehingga dapat membuat kebijakan-kebijakan yang sesuai (pemberian himbauan mengenai diet plastik, penerbitan peraturan pembatasan kantong plastik dan penghematan kemasan plastik dll)
  4. Memudahkan pemerintah memonitor pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan masyarakat dalam pengelolaan sampah (tidak memilah, tidak mengurus pembuatan komposnya)
  5. Memudahkan pemerintah untuk memberlakukan konsekuensi yang setimpal bagi para pelanggar dengan lebih tepat-sasaran
  6. Menyediakan beragam media edukasi yang terintegrasi langsung di dalam aplikasi dalam berbagai bentuk, misal artikel berkala untuk edukasi dewasa; dan infografis sederhana untuk edukasi anak-anak.

Jika menilik dari bidang pandang yang lebih luas, gagasan ini akan mampu membuka lapangan kerja seluas-luasnya –terutama apabila telah dikembangkan dengan masif– bagi para ahli perangkat lunak, engineer, teknisi alat, administrator dan costumer care, dan penulis konten di aplikasi. Semuanya bekerja tanpa sedikit pun menggusur posisi pekerja konvensional seperti supir truk sampah, petugas pengumpul sampah, dan petugas pengumpul kompos.

Ide pengelolaan sampah yang disandingkan dengan produksi pupuk kompos komersil yang terpusat –selain memberi tambahan insentif bagi sang penyumbang sampah– juga akan memberikan ruang kerja yang lebih luas bagi para marketer, distributor, reseller, quality control, dan designer produk, dan tentu saja akan berimbas positif kepada petani!

Baik petani tradisional atau pun urban farmer dapat ikut memetik manfaat manisnya. Jika produksi pupuk kompos terpusat ini dikelola dengan baik dan didistribusikan kepada petani-petani di wilayah yang luas, maka akan membuka peluang untuk memajukan pertanian di Indonesia. Sebuah kolaborasi yang luar biasa bukan?

Di masa mendatang, diharapkan gagasan ini tidak hanya membantu membangun partispasi masyarakat dalam zero waste lifestyle –yang berarti menjadi manusia yang bertangung jawab terhadap konsumsinya– namun juga berkontribusi merealisasikan zero waste cities yang smart dan high tech dengan tetap berbasis kemasyarakatan yang menguntungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar