marquee

WELCOME TO MY BLOG, FRIENDS!

Laman

Kamis, 29 November 2018

Bagian 3 : Fragmen Tembalang-Guangzhou : Saat Fajar Menyingsing di Langit China Selatan


Sudah hampir setahun sejak terakhir kali aku mengunjungi Kuala Lumpur. Hujan deras mengguyur tatkala kami bertiga berlari menyeret koper menuju Little India, kawasan pertokoan tempat aku membuat janji dengan Pak Muhammad, satu-satunya orang yang bisa menolong kami mencari barang-barang yang harus kami cari untuk melengkapi prototipe. Dengan pakaian dan koper basah, kami disambut di kedai makan di samping penjual bunga Little India.
Pak Muhammad tak berubah jauh berbeda dari saat terakhir kali kami berjumpa. Beliau masih kekar dengan kulit legam dan wajah kebapakan yang menyenangkan.. Aku menangis seketika saat pria setengah baya itu datang dengan mata berbinar senang. Lelah bercampur dengan sisa panik semasa di bandara tumpah dalam satu aliran air mata saat aku akhirnya merasa bahwa di Malaysia ini masih punya keluarga.
Pak Muhammad dengan seluruh kebaikannya membawaku dalam haru. Tangis tak bisa kubendung lagi saat kami bertiga disalami, dan beliau menawari kami untuk datang ke apartemennya di lantai tiga gedung belakang Little India. Tak lama kemudian, Bu Asma, adik beliau yang dulu juga membantu kami datang. Kunjungan singkat ini terasa lebih menyenangkan meski di bawah tirai hujan.
Pak Muhammad juga membantu kami mendapatkan semua bahan yang kami perlukan. Kami mengobrolkan banyak hal sampai sore, kemudian beliau mengantar kami ke terminal bus di KL Central pukul 5. Kami memang tak sempat berkunjung ke Menara Kembar karena hujan, tetapi beberapa jam duduk santai di Little India sudah cukup mengisi tangki semangatku  untuk melanjutkan perjalanan. Pada Pak Muhammad dan keluarga, kuucap  janji, aku akan ke Little India lagi Januari nanti.
Bis membawa kami dari KL Central kembali ke bandara, dan kami bertiga bersiap terbang. Wajah daratan China sudah terbayang, tetapi karena lelah karena seharian berlari bersama hujan, akhirnya kami bertiga pun tertidur di langit Laut China Selatan. Enam jam terlewati tanpa terasa lagi, sampai tiba-tiba awak pesawat mengumumkan, kami sudah tiba di destinasi.
Baiyun Airport pukul 2 pagi tak jauh beda dengan Makam Diponegoro. Lorongnya sepi dan dingin. Bedanya, tempat ini dipenuhi tulisan-tulisan kanji yang tak kami pahami. Pengecekan paspor dan pengumpulan sidik jari pun dilakukan di mesin-mesin besar di samping jalur conveyor. Kami bertiga menyeret koper dalam kantuk, melewati petugas-petugas gagah yang sepertinya tak bisa berbahasa inggris dan berjalan ke antrian imigrasi untuk mengisi sejumlah formulir pemeriksaan.
Hal pertama yang kupelajari dari China adalah : Penduduk China tak bisa berbahasa Inggris, termasuk petugas bandaranya! Kabar buruk buat kami berlima yang sama sekali tidak tahu caranya berbahasa China.
Pukul 4 pagi, kami baru turun dari tempat klaim bagasi. Masih dengan pandangan kabur karena nyawa belum sepenuhnya terkumpul, aku melihat Anis sudah menunggu kami di bawah eskalator. Anak lincah ini nampak lega saat melihat bayangan kami bertiga. Dia mengaku tak bisa tidur selama delapan jam menunggu kami tiba. Kami pun lega, sesuai janji, Anis dan Andi sama sekali tak pergi meninggalkan bandara.
Berbeda dengan Anis yang cemas berat semalaman, Andi ternyata bisa tidur nyenyak di bangku terdekat. Dia bahkan tak bangun saat kuguncang.
 "Andi nggak bakal bangun kalau nggak dibangunin tujuh kali!" seloroh Inay yang langsung diiyakan seluruh tim.
Tapi guncangan keempat ternyata sudah bisa mengembalikan kesadaran anggota termuda ini.
"Bangun Ndi," kataku. Dia nampak terkejut melihat aku, Inay dan Ragil sudah tiba di China. Dia mengucak mata, mencoba mengumpulkan nyawa. Aku pun mengomando seluruh tim untuk berkumpul dan segera menyusun strategi bertahan hidup berikutnya : Membeli kartu telfon lokal, menukar mata uang lokal, membeli kartu kereta dan mencari transportasi menuju Apartemen.
Andi yang ternyata sudah mensurvei fasilitas bandara pun segera membawa kami mencari penukaran uang di dalam bandara. Dollar kami pun segera pecah menjadi Yuan, siap dipakai untuk bertahan hidup. Untuk berjaga-jaga, kami menyisakan uang dollar sebagai cadangan. Kami juga ke seven eleven untuk membeli kartu kereta. Layaknya dagangan bandara yang serba mahal, kartu kereta di sini pun harganya selangit, jadi kami hanya mampu membeli tiga keping (petugas kasir sevel di sini sangat tidak ramah, mungkin karena kami orang asing). Kartu telfon pun terpaksa kami tebus dengan harga setara uang kos satu bulan (secara harafiah. 182 Yuan itu setara 400 ribu lebih!).
Kami kira, dengan uang dan kartu telfon lokal, posisi kami sebagai turis ini aman. Tetapi, bencana yang sesungguhnya datang. Kartu telfon mahal itu tidak bisa kami gunakan! Ada pengaturan berbahasa China yang sama sekali tak kami pahami. Sambil duduk di beranda bandara (yang merupakan sebuah kesalahan, karena sekali keluar kami sudah tidak diperbolehkan masuk lagi), kami panik berlima.
Apa yang harus kami lakukan? Lima mahasiswa, buta tulisan kanji, tuna wicara bahasa China, dan tanpa jaringan internet! Kami tidak tahu transportasi terdekat atau pun rute keluar kawasan bandara. Nekat keluar pun hanya akan mengantar kami menjadi gelandangan internasional.
Strategi baru terpaksa dibuat. Kemana kami harus pergi? Mencari gerai telfon untuk meminta pertolongan pengaktifan kartu? Tapi dengan transportasi apa? Sementara sekarang kami berada dalam kondisi mengantuk, dan tentu saja lapar! Sudah 16 jam berlalu sejak kami makan di KFC Malaysia.
Aku memaksakan diri berkomunikasi dengan petugas keamanan bandara melalui mesin penerjemah di smartphone mereka, menanyakan tempat makan, gerai telfon dan tempat transportasi terdekat. Dari komunikasi yang serba terbatas itu, aku mendapat informasi bahwa transportasi termudah untuk membawa kami ke gerai telfon adalah dengan naik taksi (yang tentu saja berharga mahal!). Tempat makan tak tersedia di sini kecuali yang ada dalam area bandara (tidak perlu bertanya berapa harganya).
Mengingat uang saku kami yang tak seberapa, sepertinya tidak mustahil kami akan menjadi gembel di trotoar Baiyun.
Lelah, kantuk, panik dan cemas sudah cukup untuk membuat Ragil, Anis dan Andi duduk di bangku terdekat dan tidur di sana. Inay masih panik dan mondar-mandir mencari sinyal wifi bandara. Berbekal jaringan wifi yang sekarat, dia berhasil menghubungi staff INNOPA, agen yang harusnya bertanggung jawab atas terdamparnya lima anak manusia di pojokan bandara.
Waktu sudah menunjukkan pukul  5 pagi. Kami semua lelah dan lapar, tapi tidak mampu berbuat apa-apa. Kusuruh Inay beristirahat sama seperti yang lain. Tak apa menjadi gelandangan untuk sementara, sambil nanti kupikirkan jalan keluarnya. Empat kawanku tidur, menyisakan aku yang mau tak mau harus tetap terjaga.
Aku menggenggam handphone Andi yang baterenya sudah mendekati ajal. Di menit terakhir sebelum handphone itu mati total, ada pesan whatsApp masuk dari Megaria, penanggungjawab kami.
"Kalian naik kereta Metro, turun stasiun Tiyu Xilu."
Tiyu Xilu! Aku melonjak, merasa habis menemukan titik terang dalam gelap. Lelah dan lapar itu seakan terbayar. Info yang datang dalam keadaan wifi dan batere handphone terbatas terasa menjadi penyelamat di tengah panik. Setidaknya kini kami punya nama untuk dituju : Tiyu Xilu.
Aku memandang kawan-kawan yang tengah mengistirahatkan diri. Meski sudah mencicil rasa lega, sepertinya aku masih harus tetap bangun untuk mengawasi mereka. Aku pun duduk di pinggir pilar, mendekatkan kepala ke tangan Andi yang hangat (dia memang punya metabolisme yang tinggi sampai tubuhnya sangat panas), dan menghabiskan sisa shubuh itu untuk berjaga.
Pukul 6.30, untuk pertamakalinya, aku menyaksikan fajar menyingsing di langit China. Sorot mentarinya seakan menjadi pertanda, ini adalah waktunya melanjutkan perjalanan yang luar biasa panjang.
.
Sementara mobil-mobil dan taksi-taksi melewati kami  tanpa gaduh, dan petugas bandara berganti shift tanpa rusuh. Suhu muka laut China meninggi lagi, siap memuntahkan angin dahsyat ke negara-negara terdekat.
Saat Taifun Mangkhut siap berangkat menyambar mangsa, aku dan kawan-kawan bangun dengan senyum, siap beranjak menuju Tiyu Xilu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar