Kami membayar 1000 yuan untuk menginap selama 4 hari. Itu bukan angka yang kecil, tapi diganjar oleh sebuah tempat perlindungan yang cukup nyaman. Lexuan Yout Apartemen, Gedung A lantai 5, adalah apartemen yang sangat nyaman. Satu kamar berisi 6-8 kasur bertingkat, dengan berbagai macam penghuni. Ada om-om yang berkeliaran tanpa pakaian (ya! Dia cuma memakai kolor), ada om-om ubanan yang pendiam, ada mbak-mbak China bercelana mini yang bertampang judes dan memakai headphone sepanjang hari. Ada juga tante-tante cantik asal Mongolia yang bersuara kalem. Lalu, hari berikutnya, kami jadi tahu kalau di Apartemen ini juga ada dua orang Bule.
Miss Adela yang ramah dan baik hati membantu kami menyiapkan tempat tidur. Segera setelah kasur ditata, aku segera tidur tanpa banyak bicara. Kami semua tidur, menghimpun energi yang banyak menguap selama menggelandang. Hawa dingin AC dan kasur yang empuk membuatku cepat terlelap sampai sore hari.
Masalah pertama kami di China adalah, kami tidak tahu arah kiblat untuk Sholat. Dari beberapa travel blog, aku mendapat info kalau di China, kiblat menghadap ke Barat. Saat kami sudah sholat menghadap ke Barat, Ragil menginfokan bahwa ada seorang muslim di Apartemen ini, yang Sholat menghadap ke Timur. Dia seorang bapak-bapak berkulit hitam yang ternyata menempati di kamar sebelah.
Kami tidak tahu siapa bapak-bapak muslim ini, sampai tiba-tiba, saat kami semua sedang memasak indomi di dapur untuk makan malam, ada seseorang yang membuka pintu geser dapur.
Seorang laki-laki tinggi gagah dan berwajah Negroid muncul dan menyapa dengan suara berat. “Assalamualaikum!”
“Waalaikumssalam,” Aku, Inay dan Anis menjawab spontan.
“Do you speak English?” dia bertanya.
“Yes, we speak English, sir,” jawabku.
“So. You`re muslim? Where are you from?”
“Yes, sir, we`re from Indonesia.”
Dia tersenyum saat melihat kami merebus Indomi, lalu bercerita, memang sulit mencari makanan halal di China. Kalian tidak bisa sembarang membeli makanan di sekitar sini, katanya. Kami bicara banyak hal sampai akhirnya dia memberitahu, kalau kami ingin mencari makanan halal di Guangzhou, kami harus naik kereta Jalur 5 ke arah stasiun Xiaobei, atau kami harus membeli ayam hidup-hidup untuk disembelih sendiri.
Kami tertawa atas candaan bapak-bapak itu. Dia sangat perhatian pada kami, menanyakan banyak hal tentang acara kami di sini, dan merekomendasikan kami untuk pergi ke Xiaobei. Xiaobei adalah kampung muslim di sini, tempat itu dipenuhi restoran halal yang dikelola orang-orang Turki, Pakistan, Arab dan Malaysia.
Bapak-Bapak ini sendiri, setelah kami berkenalan, ternyata bernama Abdullah, asalnya dari Sudan, Afrika. Dia datang ke China untuk urusan bisnis. Mr.Abdullah ini sangat ramah dan banyak memberi kami tips untuk bertahan hidup. Dia membantu kami menemukan rute kereta ke Foshan, dan dia juga yang memberitahu kami bahwa stasiun terdekat dari Apartemen ini adalah stasiun Washengwei. Jadi kalau kami mau kemana-mana, tinggal mengikuti jalur kereta menuju Washengwei, maka kami akan tiba di kompleks Apartemen ini.
Mr. Abdullah juga mencoba mentransfer aplikasi VPN ke hp ku, dan menyarankan kami untuk mendownload VPN karena di negara China yang semua websitenya serba diblokir, VPN menjadi satu-satunya penyelamat. Kami banyak bercerita dalam bahasa Inggris sampai larut malam.
Menemukan muslim di negara ini adalah suatu keajaiban. Kami bersyukur, di Apartemen yang luar biasa ini, kami bertemu dengan orang seperti Mr. Abdullah yang peduli dan menyenangkan.
Sesekali kami mendengar Mr. Abdullah bertelfon, dan bicara dalam bahasa Arab.
Lalu kami, anak-anak Indonesia, mencandainya, “Buset, denger dia telpon berasa didoa-doain bro!”
Wajah ramah pengembara dari beragam penjuru dunia mulai nampak. Mbak-mbak bertampang sengit yang biasa duduk di pojok ruang tamu pun banyak membantuku bersama Mr. Abdullah. Kami duduk di ruang tamu bertiga, berbagi beragam cerita.
Di balik cerahnya sire itu, ternyata ada bencana bertubi mengintai kami.
120 jam menuju Taifun Mangkhut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar