Sudah hampir setahun sejak terakhir kali aku
mengunjungi Kuala Lumpur. Hujan deras mengguyur tatkala kami bertiga berlari
menyeret koper menuju Little India, kawasan pertokoan tempat aku membuat janji
dengan Pak Muhammad, satu-satunya orang yang bisa menolong kami mencari
barang-barang yang harus kami cari untuk melengkapi prototipe. Dengan pakaian
dan koper basah, kami disambut di kedai makan di samping penjual bunga Little
India.
Pak Muhammad tak berubah jauh berbeda dari saat
terakhir kali kami berjumpa. Beliau masih kekar dengan kulit legam dan wajah
kebapakan yang menyenangkan.. Aku menangis seketika saat pria setengah baya itu
datang dengan mata berbinar senang. Lelah bercampur dengan sisa panik semasa di
bandara tumpah dalam satu aliran air mata saat aku akhirnya merasa bahwa di
Malaysia ini masih punya keluarga.
Pak Muhammad dengan seluruh kebaikannya membawaku
dalam haru. Tangis tak bisa kubendung lagi saat kami bertiga disalami, dan
beliau menawari kami untuk datang ke apartemennya di lantai tiga gedung
belakang Little India. Tak lama kemudian, Bu Asma, adik beliau yang dulu juga
membantu kami datang. Kunjungan singkat ini terasa lebih menyenangkan meski di
bawah tirai hujan.
Pak Muhammad juga membantu kami mendapatkan semua
bahan yang kami perlukan. Kami mengobrolkan banyak hal sampai sore, kemudian
beliau mengantar kami ke terminal bus di KL Central pukul 5. Kami memang tak
sempat berkunjung ke Menara Kembar karena hujan, tetapi beberapa jam duduk
santai di Little India sudah cukup mengisi tangki semangatku untuk melanjutkan perjalanan. Pada Pak
Muhammad dan keluarga, kuucap janji, aku
akan ke Little India lagi Januari nanti.
Bis membawa kami dari KL Central kembali ke bandara,
dan kami bertiga bersiap terbang. Wajah daratan China sudah terbayang, tetapi
karena lelah karena seharian berlari bersama hujan, akhirnya kami bertiga pun
tertidur di langit Laut China Selatan. Enam jam terlewati tanpa terasa lagi,
sampai tiba-tiba awak pesawat mengumumkan, kami sudah tiba di destinasi.
Baiyun Airport pukul 2 pagi tak jauh beda dengan
Makam Diponegoro. Lorongnya sepi dan dingin. Bedanya, tempat ini dipenuhi
tulisan-tulisan kanji yang tak kami pahami. Pengecekan paspor dan pengumpulan sidik
jari pun dilakukan di mesin-mesin besar di samping jalur conveyor. Kami bertiga
menyeret koper dalam kantuk, melewati petugas-petugas gagah yang sepertinya tak
bisa berbahasa inggris dan berjalan ke antrian imigrasi untuk mengisi sejumlah
formulir pemeriksaan.
Hal pertama yang kupelajari dari China adalah : Penduduk China tak bisa berbahasa Inggris,
termasuk petugas bandaranya! Kabar buruk buat kami berlima yang sama sekali
tidak tahu caranya berbahasa China.
Pukul 4 pagi, kami baru turun dari tempat klaim
bagasi. Masih dengan pandangan kabur karena nyawa belum sepenuhnya terkumpul,
aku melihat Anis sudah menunggu kami di bawah eskalator. Anak lincah ini nampak
lega saat melihat bayangan kami bertiga. Dia mengaku tak bisa tidur selama
delapan jam menunggu kami tiba. Kami pun lega, sesuai janji, Anis dan Andi sama
sekali tak pergi meninggalkan bandara.
Berbeda dengan Anis yang cemas berat semalaman,
Andi ternyata bisa tidur nyenyak di bangku terdekat. Dia bahkan tak bangun saat
kuguncang.
"Andi
nggak bakal bangun kalau nggak dibangunin tujuh kali!" seloroh Inay yang
langsung diiyakan seluruh tim.
Tapi guncangan keempat ternyata sudah bisa
mengembalikan kesadaran anggota termuda ini.
"Bangun Ndi," kataku. Dia nampak
terkejut melihat aku, Inay dan Ragil sudah tiba di China. Dia mengucak mata,
mencoba mengumpulkan nyawa. Aku pun mengomando seluruh tim untuk berkumpul dan
segera menyusun strategi bertahan hidup berikutnya : Membeli kartu telfon
lokal, menukar mata uang lokal, membeli kartu kereta dan mencari transportasi
menuju Apartemen.
Andi yang ternyata sudah mensurvei fasilitas
bandara pun segera membawa kami mencari penukaran uang di dalam bandara. Dollar
kami pun segera pecah menjadi Yuan, siap dipakai untuk bertahan hidup. Untuk
berjaga-jaga, kami menyisakan uang dollar sebagai cadangan. Kami juga ke seven eleven untuk membeli kartu kereta.
Layaknya dagangan bandara yang serba mahal, kartu kereta di sini pun harganya
selangit, jadi kami hanya mampu membeli tiga keping (petugas kasir sevel di
sini sangat tidak ramah, mungkin karena kami orang asing). Kartu telfon pun
terpaksa kami tebus dengan harga setara uang kos satu bulan (secara harafiah.
182 Yuan itu setara 400 ribu lebih!).
Kami kira, dengan uang dan kartu telfon lokal,
posisi kami sebagai turis ini aman. Tetapi, bencana yang sesungguhnya datang.
Kartu telfon mahal itu tidak bisa kami gunakan! Ada pengaturan berbahasa China
yang sama sekali tak kami pahami. Sambil duduk di beranda bandara (yang
merupakan sebuah kesalahan, karena sekali keluar kami sudah tidak diperbolehkan
masuk lagi), kami panik berlima.
Apa yang harus kami lakukan? Lima mahasiswa, buta
tulisan kanji, tuna wicara bahasa China, dan tanpa jaringan internet! Kami
tidak tahu transportasi terdekat atau pun rute keluar kawasan bandara. Nekat
keluar pun hanya akan mengantar kami menjadi gelandangan internasional.
Strategi baru terpaksa dibuat. Kemana kami harus
pergi? Mencari gerai telfon untuk meminta pertolongan pengaktifan kartu? Tapi
dengan transportasi apa? Sementara sekarang kami berada dalam kondisi
mengantuk, dan tentu saja lapar! Sudah 16 jam berlalu sejak kami makan di KFC
Malaysia.
Aku memaksakan diri berkomunikasi dengan petugas
keamanan bandara melalui mesin penerjemah di smartphone mereka, menanyakan
tempat makan, gerai telfon dan tempat transportasi terdekat. Dari komunikasi
yang serba terbatas itu, aku mendapat informasi bahwa transportasi termudah
untuk membawa kami ke gerai telfon adalah dengan naik taksi (yang tentu saja
berharga mahal!). Tempat makan tak tersedia di sini kecuali yang ada dalam area
bandara (tidak perlu bertanya berapa harganya).
Mengingat uang saku kami yang tak seberapa,
sepertinya tidak mustahil kami akan menjadi gembel di trotoar Baiyun.
Lelah, kantuk, panik dan cemas sudah cukup untuk
membuat Ragil, Anis dan Andi duduk di bangku terdekat dan tidur di sana. Inay
masih panik dan mondar-mandir mencari sinyal wifi bandara. Berbekal jaringan
wifi yang sekarat, dia berhasil menghubungi staff INNOPA, agen yang harusnya
bertanggung jawab atas terdamparnya lima anak manusia di pojokan bandara.
Waktu sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Kami semua lelah dan lapar, tapi
tidak mampu berbuat apa-apa. Kusuruh Inay beristirahat sama seperti yang lain.
Tak apa menjadi gelandangan untuk sementara, sambil nanti kupikirkan jalan
keluarnya. Empat kawanku tidur, menyisakan aku yang mau tak mau harus tetap
terjaga.
Aku menggenggam handphone Andi yang baterenya
sudah mendekati ajal. Di menit terakhir sebelum handphone itu mati total, ada
pesan whatsApp masuk dari Megaria, penanggungjawab kami.
"Kalian naik kereta Metro, turun stasiun
Tiyu Xilu."
Tiyu Xilu! Aku melonjak, merasa habis menemukan titik terang dalam gelap.
Lelah dan lapar itu seakan terbayar. Info yang datang dalam keadaan wifi dan
batere handphone terbatas terasa menjadi penyelamat di tengah panik. Setidaknya
kini kami punya nama untuk dituju : Tiyu
Xilu.
Aku memandang kawan-kawan yang tengah
mengistirahatkan diri. Meski sudah mencicil rasa lega, sepertinya aku masih
harus tetap bangun untuk mengawasi mereka. Aku pun duduk di pinggir pilar,
mendekatkan kepala ke tangan Andi yang hangat (dia memang punya metabolisme
yang tinggi sampai tubuhnya sangat panas), dan menghabiskan sisa shubuh itu
untuk berjaga.
Pukul
6.30, untuk pertamakalinya, aku menyaksikan fajar menyingsing di langit China. Sorot mentarinya seakan menjadi pertanda, ini adalah waktunya melanjutkan
perjalanan yang luar biasa panjang.
.
Sementara mobil-mobil dan taksi-taksi melewati kami tanpa gaduh, dan petugas bandara berganti
shift tanpa rusuh. Suhu muka laut China meninggi lagi, siap memuntahkan angin
dahsyat ke negara-negara terdekat.
Saat Taifun Mangkhut siap berangkat menyambar mangsa, aku dan kawan-kawan
bangun dengan senyum, siap beranjak menuju Tiyu Xilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar