Tiyu Xilu hanyalah sebuah nama. Kamu
tak membayangkan apa yang akan menanti di sana, yang kami tahu, kami hanya
harus menuju ke sana. Kami masuk ke dalam kereta bawah tanah bersama ratusan
penduduk pribumi lainnya. Kereta bawah tanah China sama parah dengan KRL rute
Bogor-Manggarai! Kereta ini lebih mirip stoples nastar lebaran yang diisi
manusia-manusia bernyawa.
Berjejal di kereta bukan sesuatu yang
kami harapkan di sini, tetapi mau tak mau harus kami jalani. Setelah beberapa
stasiun terlewati, akhirnya kami tiba di stasiun tujuan : Tiyu Xilu. Lalu
muncullah masalah baru buat kami yang baru pertamakali pergi ke sini, kami tak
tahu bahwa tiap stasiun punya pintu keluar yang berbeda-beda. Dan tiba-tiba,
tiket kami tidak terbaca mesin scan!
“Mampus! Mampus bego, ini kenapa?” Aku
memaki-maki.
Kebodohan kami pertamakali adalah, kami
sudah membeli kartu kereta tapi tidak tahu bagaimana cara memakainya, jadi kami
terpaksa membeli tiket koinan, dan ternyata
tiket koinan kami bermasalah sehingga kami tidak bisa keluar dari stasiun!
Kami berlima panik seketika dan mulai
mencari pertolongan. Sialnya, petugas stasiun tidak ada yang bisa berbahasa
inggris! Aku memaki lagi. Kami berputar-putar lama sekali, mencari petugas yang
minimal bisa mengerti frasa ini : PAK GIMANA CARANYA KELUAR DARI SINI?
Nihil.
China
yang merupakan negara besar dunia benar-benar gagal mencetak rakyat sipil yang
terampil berbahasa!
Di tengah putus asa, aku mendekati
seorang petugas tambun di dekat pintu keluar dan memaksa dia bicara bahasa
inggris. Dia menggeleng, dan berkata terbata dalam aksen China, “No-inggeris!
No-inggeris!”
Tepat pada saat itu, seorang pemuda
lokal melintas dan menepuk bahuku pelan.
“Can I help you?” katanya. Dialah orang
asing yang jadi malaikat pertama kami. Definisi malaikat penyelamat di sini
menjadi teramat sederhana: orang lokal yang mampu berbahasa inggris. Aku
menceritakan duduk perkara secara singkat, dan pemuda tak dikenal itu
mengarahkan kami ke pusat informasi stasiun.
Pusat informasi stasiun berupa ruang
kaca yang diisi seorang petugas kurus. Dia berbicara dengan orang-orang di luar
dengan menggunakan mikrofon dan pengeras suara ke luar, sebuah sistem yang
membuat petugas dan pengunjung bisa bercakap tanpa diganggu suara hiruk pikuk
stasiun. Sialnya, si petugas pusat informasi juga tidak bisa berbahasa Inggris.
Dia terpaksa turun dari ruang kaca itu dan mencari petugas lain yang bisa
membantu kami berkomunikasi.
Agak lama kemudian, dia datang membawa
petugas perempuan yang ternyata bisa berbahasa Inggris. Dia membantu kami
mengurus tiket koinan kami, dan kami diminta membayar sejumlah uang yang tak
banyak. Sungguh mulia sistem transportasi China dibandingkan dengan di
Tembalang! Ongkosnya sangat murah dan terjangkau. Setelah nyaris satu jam
terjebak di dalam stasiun pun akhirnya kami bisa keluar dari stasiun Tiyu Xilu.
Keluar dari stasiun, kami bertemu
dengan jalan besar. Trotoarnya lebar dan rapi, seperti trotoar Jalan Pemuda
Semarang. Di sini lah kami benar-benar berjumpa dengan wajah kota yang
sesungguhnya.
China sangat teratur.
Gedungnya serba pencakar langit, dan
aspalnya dibangun dengan sangat halus. Trotoarnya ramah bagi pejalan. Rakyatnya
banyak mengendarai sepeda listrik. Sepeda motor hanya dipakai oleh polisi, dan
ada banyak sekali pegawai berseragam pergi dengan berjalan kaki.
“Terus kita kemana?” tanyaku. Semua
kawanku menggeleng. Akhirnya, berbekal insting, kami menyusuri trotoar dan
berjalan jauuuuuhhhh sekali. Sol sepatuku tergerus dan telapak kakiku sudah
mulai nyeri.
Sepatu yang baru dibelikan Ibuku di
Jakarta rusak. Bagian dasarnya tidak kuat diajak berjalan jauh, sehingga bagian
dalam solnya yang bergerigi menonjol keluar. Telapak kakiku terluka sampai aku
tidak tahan berjalan lagi. Akhirnya, sambil duduk di dekat tempat parkir, aku
melepas sepatu lalu terpaksa melemparnya ke kotak sampah terdekat.
Inay dan Anis mencoba mencari taksi.
Kami tak tahu bagaimana caranya mencegat taksi di sini. Apakah kamu bisa
mencegatnya langsung? Atau harus pergi ke pool
taksi? Atau harus memesannya secara online
terlebih dahulu? Kami tak tahu. Orang-orang yang kami temui pun tak ada yang
bisa berbahasa inggris.
Kelaparan, kehausan, kepanasan dan
luka-luka membuat kami benar-benar mirip gelandangan. Tapi di tengah sengsara
ini, kami masih sempat melempar canda dan tertawa bersama. “Kapan lagi kita
bisa jadi gembel di Guangzhou?!”
“Jadi gelandangan tapi gelandangan
elit, soalnya di China!”
Tiba-tiba, di dekat sebuah Gedung yang
sepertinya sedang mengadakan sebuah acara besar, kami bertemu dengan seorang
pria. Dia malaikat yang kedua. Bahasa inggrisnya terbata, tetapi dia bisa
memahami situasi kami. Kami menanyakan alamat apartemen kami, yakni Lexuan
Youth Apartemen di Haizu District. Dia tidak bisa menjawab dimana letak
pastinya, tapi dia menuliskan alamat ini dengan tulisan kanji dan
merekomendasikan kami memperlihatkan tulisan ini ke sopir taksi setempat.
Tulisan kanji cakar ayam ini menjadi
modal utama kami berlima untuk lepas dari gelar gelandangan. Aku segera
bersemangat dan cepat-cepat mengganti sepatu. Saat kakiku membaik, aku segera
menyeret koper menyusuri trotoar lagi ke arah darimana kami datang tadi. Konyol
memang, kenapa kami berjalan jauuuuuhhh sekali tapi kemudian berbalik lagi.
Tapi firasatku membaik saat aku menyeret koper ke arah itu.
Langkahku terlalu cepat sampai
teman-teman yang lain tertinggal.
Hanya Andi yang bisa berlari menyusulku
dan mengingatkanku untuk bisa menunggu. “Mbak, mbok pelan-pelan to!” katanya,
“Mbak nek ilang piye?”
Di daratan China, rasanya rindu sekali
tanah Jawa.
Tanah tempat bisa bercakap tanpa
hambat. Di sini, jangankan bercakap, sekedar menyapa saja sulitnya luar bisa.
Aku duduk di pinggir trotoar bersama Andi, sekedar meluruskan kaki sambil
menunggu kawan-kawan yang lain sampai di sini.
Sambil menonton Andi mengambil foto-foto
Gedung, mataku berkeliling, dan aku melihat malaikat nomor tiga. Malaikat bisu
berwujud logo M raksasa warna kuning. “Temen-temen!” aku berteriak pada Andi,
Ragil, Inay dan Anis, “ADA MCDONALD!”
Rasa lapar membuat kami menyerbu
McDonald, dan memesan bubur telur. Beruntung, petugas McD bisa berbahasa
Inggris dan mengerti keadaan kami yang tidak boleh makan sembarang daging.
Halal-haramnya makanan memang jadi isu nomor satu turis muslim di seluruh
dunia. Bubur McD adalah opsi paling aman karena dagingnya hanya sedikit dan
gampang disingkirkan.
Bubur
McD Guangzhou bertekstur sangat encer, nyaris cair! Aku yang di Indonesia bukan penggemar bubur pun mendadak kangen bubur
kinco manis pinggir jalan gara-gara melihat bubur di China yang menyedihkan.
Bau telur bebeknya menyengat sampai ubun-ubun, siap membuat orang non-China
muntah seketika! Beruntung, tidak satu pun dari kami yang muntah.
Di samping bubur, ada semacam potongan
gorengan. Saat kucicip, rasanya seperti ketela yang dihaluskan lalu digoreng
dengan panir. Aku tidak yakin ini ketela, karena teksturnya lunak tapi
menyerpih. Mungkin ini sejenis umbi-umbian lokal. Untuk minuman, kami mengambil
air putih dingin, dua botol dibagi berlima.
Kami duduk di McD sekitar setengah jam,
lalu memutuskan keluar dan mulai mencari taksi. Saat kami meminggirkan diri di
bawah pohon di trotoar, tiba-tiba datang malaikat yang keempat. Tuhan mengirim
orang asing itu sebagai penolong yang mengakhiri sesi penggelandangan kami.
Dia pria muda yang tegap dan berkaos
hitam ketat. Dia juga memakan kacamata hitam. “Hei! Hei!” katanya sambil
mendekati kami, lalu dia menunjuk kami dan bicara dalam bahasanya. Kami tak
paham.
Dia terus menunjuk kami sambil
menyebutkan nama-nama negara muslim. Oh, rupanya dia menanyakan darimana kami
berasal.
“Indonesia,” jawab kami.
“Ah! Indonesia! Emm… Selamat pagi?” katanya. Kami terkejut
mendengar dia berbahasa Indonesia. Aksen Chinanya masih terasa, dan aku
merasaucapannya sedikit dipaksa.
“Selamat
pagi? Terimakasih? Terimakasih?” ucapnya acak. Kami hanya tertawa canggung,
lalu mencoba menanyainya perihal taksi. Tepat pada saat itu, dia menunjuk mobil
biru yang melintas yang ternyata adalah taksi lokal!
Kami mencegat taksi itu tepat waktu
sebelum kemudian berterimakasih berkali-kali pada orang China aneh itu. Di
balik ucapan acaknya yang tak jelas, dia membantu kami menemukan apa yang kami
cari, taksi. Alamat apartemen yang sudah ditulis dalam kanji itu segera
diberikan kepada pak sopir.
Awalnya sopir itu tak mau mengantar
kami karena kami berlima karena kapasitas maksimal taksi 4 orang. Kami terus
memohon -we can`t be separated! Dia
tidak paham bahasa inggris dan kami terus memaksa. Akhirnya pak sopir setengah
baya itu sepakat mengangkut kami berlima setelah menunjukkan angka 1000 di
kalkulator. 1000 yuan untuk naik taksi berlima! Karena tidak ada pilihan,
akhirnya kami mengangguk.
Jarak Tiyu Xilu sampai apartemen
lumayan jauh. Kami sempat melihat Canton Tower dari kejauhan, dan lanskap kota
berpencakar langit yang elok. Kecantikan China tak dipudarkan oleh cat interior
kotanya yang serba abu-abu. Kami melintasi jalan raya lebar dan mulus menuju
sudut Guangzhou yang tak kami tahu : distrik Haizu.
Sopir taksi yang mendadak baik hati
setelah dijanjikan 1000 yuan itu memutari distrik demi mencarikan kami alamat
Lexuan Yout Apartemen, hingga akhirnya tibalah kami di sebuah kompleks
apartemen yang menurut kami cukup elit. Si sopir membantu kami berkomunikasi
dengan petugas sekuriti setempat, dan para sekuriti berseragam hitam itu
membersilakan kami duduk di bangku terdekat.
Kompleks apartemen ini mengingatkanku
pada perumahan mewah ibukota, tapi versi vertikal. Ada tak kurang dari sepuluh
Apartemen pencakar langit dibangun melingkari sebuah Kawasan taman yang ditata
luar biasa indah. Pohon-pohon mengawal jalan setapak berpaving yang
meliuk-liuk, mengelilingi sebuah kolam renang jernih. Di sudut-sudut, terbangun
fasilitas lapangan tenis dan lapangan basket, ada juga lapangan yang diisi
wahana bermain anak-anak.
Bangku-bangku taman di sini pun terbuat
dari marmer bersih. Sejumlah penghuni kompleks berkeliaran dengan menuntun
anjing-anjing mereka yang beraneka ras. dan tempat ini juga dikelilingi empat
gerbang. Masing-masing gerbang dijaga ketat oleh petugas sekuriti, dan semua
penghuni apartemen mempunyai satu kartu pintu. Untuk membuka gerbang, kartu itu
harus di-scan terlebih dahulu di
sensor khusus yang dipasang.
Kecanggihan seperti ini belum pernah
kami jumpai di Tembalang. Kami berlima memuji keindahan kompleks, sampai
kemudian datanglah wanita cantik berdaster hitam. Dia telah berumur, tetapi
masih terlihat muda dan jelita. Itu adalah kali pertama kami berjumpa dengan
Miss Adela Zhou, ibu kos terbaik di
dunia! Dengan hadirnya Miss Adela, maka masa kami menjadi gelandangan
internasional pun resmi berakhir!
Tak
terpikirkan sedetikpun bahwa Distrik Haizu yang indah dan damai ini sebentar
lagi akan hancur ditelan angin. 135 jam menuju puncak Taifun Mangkhut yang
mengancam nyawa!