9 September 2018, pukul 9 pagi. KLIA2 masih
terlihat anggun dan indah seperti saat kali pertama aku mengunjunginya. Seperti
kunjunganku yang terdahulu, Malaysia masih cantik dan bersahabat. Di KLIA2 kami
tak berhasil mengubah nama Andi yang berbeda antara paspor dan tiket. Petugas
setempat sempat berkata dengan jengkel padaku dan Andi bahwa bandara transit
tak punya wewenang memperbaiki kesalahan nama penumpang. Mengadu ke kantor
pusat Air Asia pun tak bisa. Sang petugas berkata, “Kalian tak ada masa. Kalian
take off pukul tiga kan?”
Terasa ada petir menyambar dari
langit-langit bandara saat kami lihat jadwal penerbangan di tiket Andi ternyata
berbeda dengan jadwal yang ada di tiketku. Andi terbang pukul tiga sore, aku
pukul delapan malam. Panik, kami berlari ke tempat Anis, Inay dan Ragil
menunggu di lantai satu.
Tiket-tiket dikeluarkan, dan kami mulai
mencermati jadwal. Benar saja, ada masalah yang lebih genting dari kesalahan
nama, yakni kami harus terbang di waktu yang berbeda! Aku, Inay dan Ragil
berangkat pukul delapan malam, Andi dan Anis terbang pukul tiga sore.
Runtuh sudah harapan rencana berkunjung
ke lanskap-lanskap ikonik Kuala Lumpur yang cantik selama 12 jam transit ini.
Saat kami sibuk menganalisa, apa yang salah dengan proses pemesanan tiket
pesawat sampai akhirnya kami dihadapkan dengan situasi ini.
Anis mulai resah. Dia dan Andi tak
pernah ke luar negeri sekali pun. Menempuh 6 jam perjalanan Kuala Lumpur-Guangzhou
perlu mental yang memadai, apalagi dengan bekal bahasa China yang bisa dibilang
nol besar. Apa yang nanti akan mereka perbuat di China sana? Menunggu
berjam-jam sampai Aku, Inay dan Ragil tiba?
“Nggak ada pilihan sih,” aku menghela
nafas sambil menggigit biskuit yang Inay beli. Manisnya tak lagi terasa saat
kulihat Anis menunjukkan raut panik yang masih sama. “Kita pisah…”
Kebutuhan Cewek Nomor 1 : Charger HP. Inay in frame |
Kebutuhan Cewek Nomor 2 : Narsis |
Andi dan Anis, dua adik kelasku itu,
mengangguk menyetujui. Lalu Andi dengan gaya tenang khasnya bersuara, “Untung
kita ngecek namaku tadi ya. Jadi sadar kalau jadwal kita beda.”
Saat
itu aku percaya frasa Every cloud has a silver lining bukan sebuah
canda. Akhirnya kami sepakat membiarkan Anis dan Andi tetap berada di Bandara
sampai jadwal keberangkatan mereka pukul 3 nanti, sementara Aku, Inay dan Ragil
akan berangkat ke pusat Kuala Lumpur untuk membeli sejumlah barang yang masih
diperlukan untuk melengkapi prototipe kami : Sliding glass, dan kran air, sebelum kemudian kembali ke bandara
untuk take off pukul 8.
Seperti tidak rela membiarkan anak ini pergi ke China seorang diri. |
Aku masih ingat betul rute yang harus
ditempuh. Dari bandara, dengan tiket bis seharga RM 12, kami bisa turun di
KLCentral, menuju pusat informasi untuk mencari toko alat gelas terdekat (setelah
dua jam penuh mengontak semua kenalanku di KL dan menanyakan toko alat gelas setempat,
akhirnya kami mendapatkan sebuah alamat yang meyakinkan). Rencana selanjutnya
adalah mengunjungi Pak Muhammad di Little India. Beliau adalah Bapak asal
Madura yang setahun lalu menyelamatkanku, Wiwid dan Ajeng saat terdampar di KL
Central. Kunjungan ini untuk memenuhi janji pada beliau bahwa aku takkan lupa hari
penyelamatan itu. Kemudian, kami akan ke Menara Kembar, sekedar untuk berpose
demi feed Instagram.
Sebelum semua rencana itu dijalankan,
didorong rasa lapar karena hanya bisa makan roti tawar di kereta, kami berlima
pun beranjak ke restoran cepat saji setempat. Tanpa banyak bertanya, lima porsi
Classic Rice KFC segera tersaji, dan
kami duduk berjajar di meja terdekat, siap bersantap.
Suap demi suap Nasi Lemak dan semua
kelezatannya seolah menjadi tanda, barangkali ini adalah makanan halal terakhir
yang barangkali bisa kami nikmati sebelum terbang ke China. Di China sana, kami
harus memikirkan caranya mempertahankan diri di tengah minimnya restoran
muslim.
Di tengah lelah dan panik, setidaknya
masih ada fragmen masa dimana kami berlima bisa duduk dan bertukar tawa. Ada momen
dimana kami masih bisa melempar canda, di satu meja yang sama, di hadapan lima
hidangan yang sama. Setidaknya, meski kami terpaksa terpisah di Malaysia, kami
terpisah dalam keadaan kenyang dan bahagia.
Tawa
bahagia itu berderai tepat 160 jam sebelum aku berteriak kesakitan karena
mataku tersambar serpihan kayu di tengah pertaruhan nyawa melawan murkanya alam
daratan China.
Bersambung