ADAPTASI TUMBUHAN LUMUT
TERHADAP INTENSITAS CAHAYA MATAHARI
Disusun
Oleh :
Ferisa Lestari
Nugrahayu
Departemen
Biologi
Fakultas
Sains dan Matematika
Universitas
Diponegoro
Semarang
April, 2018
Lumut atau Bryophyta adalah salah
satu tumbuhan tingkat rendah yang menjadi titik evolusi penting bagi kolonisasi
tumbuhan teresterial. Fitur-fiturnya telah menunjukkan adanya adaptasi
kehidupan darat, dan diversifikasi lumut yang luar biasa menunjukkan kesuksesan
kelompok tanaman ini untuk sintas di luar wilayah akuatik. Hingga kini,
diperkirakan lumut telah terspesiasi menjadi 24.100 spesies dari 3 filum yang
berbeda, Hepatophyta, Anthocerophyta dan Bryophyta (Campbell, et al., 2012).
Adaptasi-adaptasi
penting dari lumut antara lain adaptasi terhadap perolehan hara, ketersediaan
air untuk reproduksi, perlawanan terhadap patogen, dan adaptasi terhadap cahaya
matahari. Struktur sporopollsenin dan kutikula mencegah lumut dari desikasi,
sintesis metabolit sekunder memberikan perlindungan, dan asosiasi dengan
mikoriza memberikan akses pada perolehan nutrisi yang baik (Reece, et al., 2016).
Cahaya
matahari menjadi salah satu faktor pembatas penting bagi seluruh organisme
fotosintetik, termasuk lumut. Berbeda dengan di habitat akuatik, di habitat
teresterial cahaya matahari tidak tersaring oleh kolom air (Hoefnagells, 2015). Sebagai organisme fotosintetik, lumut
memiliki kloroplas yang disesuaikan dengan kebutuhanya akan sinar matahari. Penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa lumut juga punya jaringan
fotosintesik berventilasi
yang memberikan peningkatan area untuk penyerapan CO2 dan memaksimalkan proses
fotosintesis (Marschall & Proctor, 2004).
Mengetahui
adaptasi tumbuhan lumut terhadap ketersediaan intensitas matahari menjadi
penting, karena membantu kita memahami salah satu adaptasi darat yang penting,
yakni proses fotosintesis di habitat darat, apa yang membuat proses itu berbeda
dari kerabat akuatik terdekatnya, alga Charophyta, dan bagaimana adaptasi
tersebut dievolusikan. Adaptasi itu terdiri dari adaptasi struktur tubuh, jenis
klorofil yang dikandung tiap spesies, self
shading dan adaptasi fisiologi terhadap intensitas cahaya yang rendah.
Untuk mengetahui adaptasi lumut
terhadap cahaya matahari secara menyeluruh, baik anatomi atau fisiologi.
Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
terkait adaptasi tumbuhan lumut terhadap kehidupan teresterial dan terhadap kondisi daratan.
Glime (2017) menyebutkan salah satunya adalah
keberadaan struktur yang dinamakan lens
cell. Sel ini berlokasi di permukaan daun dan berfungsi untuk memfokuskan
cahaya. Hal yang menarik adalah, pada lumut yang hidupnya ternaungi, selnya
berbentuk bulat, sedangkan pada lumut yang tersinari matahari, selnya berbentuk
elips. Schistostega pennata adalah contoh
lumut yang memiliki tipe sel ini, dan punya protonema yang bersifat luminescent. S.pennata tumbuh berpendar di gua-gua, tetapi tetap sintas
meski hidup dalam naungan.
Selain
lens cell, struktur lain yang
dimiliki oleh sejumlah lumut tertentu adalah mammillose cells. Sel ini mirip dengan lens cell, berfungsi untuk memfokuskan cahaya. Plagiomnium
tuomikoski adalah contoh lumut yang mempunyai banyak mammillose cell di
permukaan daunnya.
Fungsi
dari sel-sel pemfokus cahaya ini berguna untuk mendistribusikan cahaya yang
diterima, sekalipun daun-daun lumut saling tumpeng tindih. Adaptasi ini juga
difasilitasi kemampuan kloroplas lumut dalam menyusun dirinya sendiri di sel
periferal, sehingga memungkinkan tetap dapat menerima sinar matahari sekalipun
saling tumpeng tindih dan ternaungi.
Saat menerima cahaya matahari yang akan
digunakan untuk fotosintesis, lumut akan menyerap sebagian cahaya dan
memantulkan sisanya. Menurut Lovelock & Robinson (2002), lumut memiliki
reflektansi (pemantulan cahaya) permukaan yang berbeda-beda, namun perbedaan
ini tidak berkaitan dengan konsentrasi pigmen yang terkandung di dalam lumut
itu sendiri. Perbedaan reflektansi
diduga disebabkan karena bentuk permukaan dan kadar air di dalam lumut.
Studi terhadap lumut antartika Bryum pseudotriquetrum, Ceratodon purpureus dan Schistidium antarcticum menunjukkan bahwa
lumut sangat mirip dengan Angiospermae dalam hal reflektansi UV. Namun uniknya,
rasio cahaya yang diserap dan dipantulkan ternyata berkorelasi kuat dengan
keberadaan kompleks klorofil-protein yang selama ini melindungi lumut dari
udara dingin. Hal ini mempengaruhi bagaimana proses fotosintesis lumut di
daerah yang cahaya mataharinya yang tidak melimpah sekaligus dingin seperti di
antartika.
C.purpureus teramati memiliki kadar
klorofil yang rendah dibanding dua contoh yang lain, tetapi
antosianinnya tinggi. Sedangkan B.pseudrotriquetrum memiliki kadar
klorofil tertinggi, namun karotenoidnya rendah. Karotenoid dan Antosianin di
sini berfungsi selain sebagai pigmen aksesori juga sebagai fotoprotektan
terhadap UV yang merusak. Ketersediaan air terbatas, lumut-lumut ini akan
terdehidrasi. Namun re-hidrasi mampu meningkatkan kemampuan reflektansi. Hal
ini merupakan salah satu adaptasi yang juga membuat lumut mampu sintas di
daerah dengan sinar matahari minimal sekaligus kering.
Glime (2017) menerangkan lumut lebih reflektif
daripada tumbuhan tingkat tinggi. Hal ini diduga karena lumut mempunyai kadar
air yang lebih tinggi di dalam jaringannya dibandingkan dengan tumbuhan yang
lain. Beberapa jenis lumut seperti Sphagnum
bersifat sangat reflektif karena dia menyerap cahaya merah dalam panjang
gelombang yang sempit. Lumut lain dari spesies Plagiomnium acutum punya kapasitas yang luar biasa dalam menyerap
dan merefleksikan cahaya, dibandingkan dengan Herpetineuron toccoae yang sama-sama tumbuh di tempat yang basah
tapi ternaungi.
Leaf
Area Index (LAI) atau indeks area daun merepresentasikan prosentase muka tanah
yang ternaungi oleh dedaunan. Indeks area daun pada lumut ternyata proposional
terhadap intensitas cahaya, tetapi hal ini belum banyak diteliti. Glime (2017) menyebutkan bahwa dalam penelitian
terdahulu, terungkap bahwa semakin toleran suatu lumut terhadap desikasi, maka
semakin luas LAI nya. Syntrichia ruralis punya LAI sebesar 44, Ceratodon purpureus punya LAI
sebesar 129, dan Hypnum
cupressiforme yang tercatat lebih toleran memiliki LAI 103.
Mengapa justru lumut yang punya LAI
besar? Seperti yang teramati pada tracheophyte, bahwa dedaunan tersusun dalam
suatu susunan yang meminimalkan posisi tumpang-tindih untuk memaksimalkan
penetrasi cahaya matahari. Sedangkan lumut sendiri tumbuh bersama-sama dalam
jumlah besar sehingga mengalami banyak posisi tumpang-tindih pada daunnya. Hal
ini menyebabkan adanya self shading. Sebagai
bentuk adaptasi agar self shading ini
tidak mengganggu perolehan cahaya matahari, lumut mengorientasikan arah
tumbuhnya secara horizontal, bukan vertikal, sehingga meskipun tumbuh dalam
jumlah besar, tumpang-tindihnya daun dapat dihindari sehingga perolehan cahaya
matahari tetap baik meski dalam kondisi cahaya yang minimal.
Lumut
tergolong ke dalam tanaman C3 yang secaran alami didesain untuk menangkap
cahaya dalam intensitas yang rendah. Lumut teramati memiliki rasio klorofil a:b yang cenderung lebih rendah daripada
tracheophyte. Para ilmuwan menduga bahwa rendahnya rasio klorofil a:b penting bagi lumut karena lumut
bersifat poikilohydric, yang berarti bergantung pada kelembapan atmosferik
untuk meregulasi kadar air internal, dan biasanya kelembapan tinggi terjadi
pada lingkungan dengan kadar cahaya matahari rendah. Karena itu lah kadar
klorofil lumut didesain untuk beradaptasi dengan kadar cahaya rendah.
Hammerlynck
(2002) dalam Glime (2017) menyatakan bahwa satu spesies lumut Xerofitik, Syntrichia ruralis punya
konsentrasi klorofil tertinggi ketika ditempatkan di dalam lingkungan
berintensitas cahaya rendah dibandingkan dengan lumut yang lain. Lumut lain yang memiliki konsentrasi
klorofil tertinggi selain S.ruralis adalah
Cyanthodium tuberosum, yakni mencapai
3,636 mg/g massa kering. Sedangkan yang memiliki kadar klorofil yang rendah
adalah Entodon prorepens (0,667 mg/g
massa kering). Hasil
penelitian menunjukkan ketika intensitas cahaya di lingkungan lumut dinaikkan,
konsentrasi klorofil dari lumut tidak meningkat. Hal ini berlaku untuk semua
spesies lumut.
Pigmen di
samping klorofil juga membantu lumut merespon cahaya, seperti yang ditunjukkan
spesies Rhytidiadelphus triquetrus, R.
squarrosus dan Mnium hornum yang mengandung Biflavonoid. Kadar senyawa ini
berhubungan erat dengan fotoperiodisme dan intensitas cahaya yang mereka
terima. Selain itu, ketika lumut ditempatkan di tempat ternaungi, kadar karotenoidnya
menjadi meningkat dibandingkan dengan ketika lumut ditempatkan di daerah
terbuka. Ketika musim penghujan, dimana pertumbuhan lumut telah mencapai kadar
maksimum, rasio klorofil:karoten mencapai titik tertinggi. Sedangkan pada saat
terpapar matahari dengan intensitas yang tinggi, lumut menghasilkan pigmen
kuning yang disebut lutein.
Salah satu hal yang menarik adalah, pigmen aksesoris di samping
klorofil hadir dalam berbagai variasi dan konsentrasi seiring perubahan
intensitas cahaya yang diterima oleh lumut. Antosianin atau pigmen ungu
terkadang hadir lebih tinggi dibandingkan dengan klorofil, sedangkan
pigmen-pigmen yang sifatnya fotoprotektif seperti zeaxanthin dan antheraxantin
sifatnya berkorelasi negative dengan klorofil.
Hal ini menjadi sangat penting karena ketika cahaya matahari sedang
menyengat, klorofil akan menurun dan pigmen fotoprotektan akan meningkat
sebagai bentuk perlindungan, sebaliknya ketika intensitas cahaya matahari
turun, klorofil naik dan pigmen fotoprotektan akan turun.
Pada beberapa lumut, kloroplas dapat
bergerak ke arah datangnya cahaya. Kemampuan kloroplas mengorientasikan dirinya
terhadap cahaya memaksimalkan serapan energi cahaya yang diperlukan oleh lumut.
Pada intensitas cahaya rendah, kloroplas menyebar, tetapi saat lumut terpapar
cahaya dengan intensitas tinggi, kloroplas bergerak ke tepi. Mekanisme ini ada
pada alga, paku maupun lumut. tetapi ada beberapa lumut yang menunjukkan respon
yang lambat pada mekanisme ini, contohnya Physcomitrella patens.
Respon ini tergantung pada intensitas
cahaya yang merangsangnya. Cahaya merah 0.118 W/m2 atau Cahaya biru 0.01-85.5 W/m2 menginduksi
akumulasi kloroplas, tetapi cahaya yang lebih tinggi, yakni Cahaya merah 60 W/m2
tidak. Respon ini dimediasi oleh fitoktom. Beberapa spesies lumut juga
mengembangkan bentuk adaptasi yang unik terkait pergerakan kloroplas, seperti
misalnya Physcomitrella patens yang tak hanya
merespon cahaya tetapi juga dapat merespon keberadaan senyawa kimia tertentu.
Adaptasi lumut terhadap intensitas cahaya
matahari terdiri dari adaptasi struktural dan fisiologi. Adaptasi struktural
terdiri dari adanya lens cell dan mammillose, reflektansi permukaan dan
LAI. Sedangkan adaptasi fisiologi terdiri dari keberadaan klorofil dan pigmen
aksesori dan pergerakan kloroplas.
DAFTAR
PUSTAKA
Campbell, N.
B., Reece, J. B., Urry, A. L., Cain, L. M., Wasserman, A. S., Minorsky, P.
V., & Jackson, R. B. (2012). BIOLOGI. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Glime, J. M. (2017). Bryophyte
Ecology. Michigan: Michigan Technological University and the
International Association of Bryologists.
Hoefnagells, M. (2015). Biology
Concepts and Investigation 6th edition. New York: McGraw Hill Higher
Education.
Lovelock, & Robinson.
(2002). Surface Reflectance Properties of Antartic Moss and Their
Relationship to Plant Species, Pigment Composition and Photosynthetic
Function. Plant Cell Environment, 1239-1250.
Marschall , M., &
Proctor, M. C. (2004). re bryophytes shade plants? Photosynthetic light
responses and proportions of chlorophyll a, chlorophyll b and total
carotenoids. Ann Botanical.
Reece, J. B., Urry, L. A.,
Cain, M. L., Wasserman, S. A., Minorsky, P. V., & Jackson, R. B. (2016). Campbell
Biology Ninth Edition. San Fransisco: Pearson Education ltd.